MAKALAH
“PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA”
Oleh:
Nama : RIDUAN SURURI
NPM : 1222010030
Semester : 3 (tiga)
Program : Ilmu Tarbiah
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Pendidikan Multikultural
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Pendidikan Multikultural
DOSEN PENGAMPU
1. Dr. SULTHON SYAHRIL, M.A
2. Dr. SUDARMAN, M.Ag
IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
PROGRAM PASCA SARJANA (PPs)
KELOMPOK YASRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dengan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Pendidikan multikultural. Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Allah, Rasulullah, Muhammad SAW dan keluarganya serta para pengikutnya yang selalu berjuang untuk menebar cahaya Islam sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian makalah ini, terdapat kendala yang dihadapi penulis. Mulai dari pencarian sumber bacaan dan keterbatasan waktu yang dimiliki. Alhamdulillah, meskipun demikian, kendala ini dapat diatasi sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas penyelesaian makalah ini. Semoga Allah SWT memberi berkah atas amal usaha kita.
Kendati demikian kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itulah, penulis mohon maaf jika di dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Akhirnya, semoga makalah Pendidikan multikultural ini dapat bermanfaat umumnya bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa PPS IAIN Raden Intan Bandar Lampung dan pembaca umumnya. Kami pun terbuka menerima kritik dan saran dari para pembaca semua, guna perbaikan di masa yang akan datang.
Wassalamua’laikum Wr. Wb
Bandar Lampung, Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan masalah 3
C. Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Memahami Pendidikan Multikultural dan Hakikatnya 4
B. Pendidikan Multikultural di Indonesia 7
C. Pendidikan Multikultural Berbasis Karakter Bangsa 10
D. Implikasi Pendidikan Multikultural di Sekolah 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 18
B. Saran 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sangat beragam dan tinggal di wilayah pulau-pulau yang tersebar berjauhan. Dalam Deklarasi Djoeanda, laut Indonesia seluas 5,8 km2, di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil dikelilingi garis pantai sejauh lebih dari 80.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada (Prakoso, B.P., 2008:1). Hal ini menyebabkan interaksi dan integrasi ekonomi sulit merata, sehingga terdapat ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Ini sangat rentan sebagai awal rasa ketidakpuasan yang berpotensi menjadi konflik. Kondisi tersebut di atas dilengkapi pula dengan sistem pemerintahan yang kurang memperhatikan pembangunan kemanusiaan para era terdahulu, kebijakan Negara Indonesia didominasi oleh kepentingan ekonomi dan stabilitas nasional. Sektor pendidikan politik dan pembinaan bangsa kurang mendapat perhatian. Pada saat itu, masyarakat takut berbeda pandangan, sebab kemerdekaan mengeluarkan pendapat tidak mendapat tempat; kebebasan berpikir ikut terpasung’ pembinaan kehidupan dalam keragaman nyaris berada pada titik nadir. Tiba-tiba sejak dengan adanya Otonomi Daerah “semangat kedaerahan” menjadi mengemuka daripada “semangat untuk bersatu”. Ikatan berdampingan antaretnis dan agama dikesampingkan, hanya untuk melepas akumulasi kecemburuan sosial. Perbedaan suku, agama, RAS, dan antargolongan (SARA) sebagai kondisi nyata yang diwarisi turun temurun, yang merupakan unsur-unsur kekayaan yang mewarnai khasanah budaya bangsa, menjadi momok yang menakutkan, sekaligus ancaman potensial bagi eksistensi bangsa dan menipisnya rasa nasionalisme.
Secara historis dapat diketahui bahwa rasa nasionalisme dapat membangkitkan bangsa Indonesia terbebas dari cengekraman penjajah. Untuk konteks masa kini, nasionalisme inilah yang dapat membangkitkan bangsa Indonesia yang masih sangat besar dependensi (ketergantungan)-nya pada bangsa-bangsa lain, agar menjadi bangsa yang benar-benar memiliki independensi (kemandirian) dan selanjutnya mencapai interdependensi, memiliki keunggulan dalam berbagai bidang untuk dapat bekerja secara sinergis baik dengan suku-suku bangsa (etnis) yang ada di Indonesia maupun dengan bangsa lain. Sayangnya nasionalisme tersebut mulai menipis.
Menurut Thomas Lickona (1992), ada sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa, yaitu:
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja.
2. Ketidakjujuran yang membudaya.
3. Semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan pemimpin.
4. Pengaruh peergroup terhadap tindak kekerasan.
5. Meningkatnya kecurigaan dan kebencian.
6. Penggunaan bahasa yang memburuk.
7. Penurunan etos kerja.
8. Menurunnya rasa tanggung jawab sosial individu dan warga negara.
9. Meningginya perilaku merusak diri.
10. Semakin hilangnya pedoman moral.
Sepuluh hal inilah yang menunjukkan tanda kehancuran suatu bangsa. Apa yang dikatakan oleh Lickona di atas hampir semua dapat dilihat telah terjadi di Indonesia. Seperti perkelahian pelajar dan mahasiswa (tawuran); cukup banyak orangtua, guru dan para pemimpin yang melakukan tindakan tidak terpuji dan menghilangkan rasa hormat anak pada mereka, atau anak yang tega membunuh orangtua karena kemauannya tidak dituruti. Maraknya kelompok anak-anak muda yang melakukan kriminal, contoh geng motor, memperkosa bersama-sama, dan sebagainya. Meningkatnya rasa bermusuhan antaretnis, antaragama. Cara berkomunikasi yang menebarkan rasa bermusuhan, konflik dan saling memojokkan, sangat sering kita dengar di lingkungan atau melalui media. Ajaran para tetua dulu terutama pada budaya Jawa untuk menggunakan bahasa kromo yang santun sudah lama ditinggalkan. Perolaku merusak diri dengan narkoba, minuman keras dan perilaku seks bebas terus saja bertambah jumlahnya. Etos kerja yang rendah dan bermimpi punya uang banyak, membuat penipuan, pencurian, dan korupsi merajalela. Pemberitaan yang riuh dan simpang siur oleh media-media yang komersial membuat warga semakin kehilangan pedoman moral. Ada kesan sulitnya “menjadi orang baik” dewasa ini.
Problem dan permasalahan yang kompleks itu memerlukan jalan keluar dan tindakan yang nyata. Karakter bangsa yang terpuji, kecerdasan warga yang prima, nasionalisme Indonesia yang kuat, kemampuan hidup dalam masyarakat dan budaya yang multikultural, sangat perlu menjadi fokus pengembangan pribadi setiap warga bangsa. Hal tersebut dapat dicapai melalui proses pendidikan, pembudayaan dan pelatihan baik secara formal melalui lembaga sekolah maupun secara informal melalui lembaga kemasyarakatan, kelompok-kelompok kerja, organisasi-organisasi masyarakat dan dimulai sejak usia dini sampai dewasa ini bahkan sampai tua, antara lain melalui pendidikan multikulutral.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendidikan multikultural dapat membentuk karakter bangsa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Pendidikan multikultural dapat membentuk karakter bangsa ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memahami Pendidikan Multikulural dan Hakekatnya
Dalam konteks kehidupan bangsa dan budaya yang multikultural, pemahaman multikultural harus dihadirkan untuk memperluas wacana pemikiran manusia yang selama ini masih mempertahankan “egoisme” kebudayaan dan keagamaan.
Sejarah pahit telah membuktikan ketika sebagian dari warga bangsa berpandangan primordial, baik dalam paham agama, kewilayahan maupun ideologi telah mengakibatkan bangsa tercabik-cabik oleh perbedaan tersebut, seperti perang antaretnis, agama, dan lain-lain. Pada dasarnya “ruh” dan “napas” pendidikan multikulutral adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang anti terhadap adanya kontrol, tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia. Yang selanjutnya, pendidikan multikulutral inilah yang menjadi motor penggerak dalam menegakkan demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah, perguruan tinggi, dan institusi-institusi lainnya seperti halnya terjadi di Amerika Serikat dan diikuti banyak negara lainnya.
Haviland mengatakan bahwa multikultural dapat diartikan pula sebagai pluralitas kebudayaan dan agama. Dengan demikian, memelihara pluralitas akan tercapai kehidupan yang ramah penuh kedamaian. Pluralitas kebudayaan adalah interaksi sosial dan politik antara orang-orang yang berbeda cara hidup dan berpikirnya dalam suatu masyarakat. Secara ideal, pluralisme kebudayaan multikulturalisme berarti penolakan terhadap kefanatikan, purbasangka, rasialisme, tribalisme, dan menerima secara inklusif keanekaragaman yang ada (William A. Haviland, 1988).
Sikap saling menerima, menghargai nilai-nilai, keyakinan, budaya, cara pandang yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk berharap orang lain menjadi seperti dirinya (Ruslan Ibrahim, 2008). Sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan, dididikkan, dibudayakan agar menginternalisasi/terhayati dan ditindakkan pada generasi muda penerus bangsa. Dengan pendidikan dan pembudayaan, sikap penghargaan terhadap perbedaan direncanakan dengan baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan dilatihkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga setelah dewasa mereka sudah punya sikap dan perilaku tersebut. Fay (1998) mengatakan dalam dunia multikultural harus mementingkan adanya bermacam perbedaan antara yang satu dengan yang lain dan adanya interaksi sosial di antara mereka. Oleh sebab itu para multikulturalis memfokuskan pada pemahaman dan hidup bersama dalam konteks sosial budaya yang berbeda.
Banks (2001) berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengkaji dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan, yang tujuan utamanya adalah merubah struktur lembaga pendidikan supaya siswa baik pria dan wanita, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan budaya (kultur) yang bermacam-macam itu akan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi (Banks, 1993).
Dasar psikologi pendidikan multikultural menekankan pada perkembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep diri yang lebih positif dan kebanggaan pada identitas pribadi. Individu merasa baik tentang dirinya karena terbuka dan reseptif (menerima) dalam berinteraksi dengan orang lain dan menghormati budaya dan identitasnya. Adapun Howard (1993) berpendapat bahwa pendidikan multikultural memberi kompetensi multikultural. Pada masa awal kehidupan seseorang (anak), waktu banyak dilalui di daerah etnis dan kultur masing-masing. Kesalahan dalam mentransformasi nilai, aspirasi, etiket, dan budaya tertentu, sering berdampak pada primordialisme kesukuan, agama dan golongan secara berlebihan. Faktor tersebut menyebabkan timbulnya permusuhan antaretnis dan golongan, seperti fenomena sosial yang terdapat di beberapa wilayah tanah air Indonesia.
Melalui pendidikan multikultural sejak dini diharapkan anak mampu menerima dan memahami perbedaan budaya yang berdampak pada perbedaan usage (cara-cara), folkways (kebiasaan), mores (tata kelakukan), customs (adat istiadat) seseorang. Dengan pendidikan multikultural seseorang sejak dini mampu menerima perbedaan, kritik, dan memiliki rasa empati, toleransi pada sesama tanpa memandang status, kelas sosial, golongan, gender, etnis, agama maupun kemampuan akademik (Farida Hanum, 2005). Hal senada juga ditekankan oleh Musa Asya’rie (2004) bahwa pendidikan multikultural bermakna sebagai proses cara hidup, menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural, sehingga peserta didik kelak memiliki kekenyalan dan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat. Artinya pendidikan multikultural dapat mendidik warga bangsa Indonesia memiliki karakter sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi harkat martabat manusia.
Melalui pendidikan multikultural inilah sebenarnya nilai-nilai ditransformasikan dari generasi ke generasi. Kemudian pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki. Memiliki sikap positif terhadap perbedaan (SARA) sehingga mampu membawa individu-individu ke dalam komunitas dan membawa komunitas ke dalam masyarakat dunia yang lebih luas. Membentuk kerangka dasar untuk menciptakan organisasi sosial yang harus menyadari bahwa semua adalah bagian dari suprastuktur. Satu sama lain saling berkaitan dan harus selalu bekerja sama berdasarkan prinsip gotong-royong dan kekeluargaan. Inilah yang disebut sebagai karakter bangsa, prinsip gotong-royong dan kekeluargaan sebagai sebuah identitas nasional.
Pada akhirnya, output yang dihasilkan oleh pendidikan model ini diharapkan akan mampu memberikan kekuatan dalam memulai dan membangun sebuah bangsa yang bersumber pada sejarah sebagai sumber pembelajaran, kebudayaan sebagai, nilai dan penerapan iptek dalam menghadapi tantangan masa depan.
B. Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan di Indonesia secara perundangan telah diatur dengan memberikan ruang keragaman sebagai bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Dasar perundangan ini selain memberi arahan pendidikan di Indonesia juga mewajibkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikembangan berdasarkan nilai-nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia yang didasarkan pada UU Sisdiknas di atas tidak dapat dilepaskan dengan gelombang reformasi pendidikan dunia. Sebagai bangsa, Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh dunia lebih luas. Globalisasi menjadikan keterikatan bangsa-bangsa sebagai kesatuan komunitas dunia.
Kuper (2000) sebagaimana dikutip Pupu Saeful Rahmat menyepadankan pendidikan multikultural dengan pendidikan multibudaya. Gelombang pendidikan multibudaya dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Secara teknis pendidikan multi budaya juga dikembangkan oleh Banks (1993). Banks mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan praktik, perhatian pada hubungan antarras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apa pun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Hak-hak hidup bersama dan memeroleh penghidupan yang layak sebagai warga dunia juga menjadi perhatian dalam konsep pendidikan multikltural. Inilah yang mejadi titik tolak Nieto (1992) dalam melihat perspektif pendidikan multikultral. Nieto menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memerhatikan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama memelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
Konsep-konsep pendidikan multkultural yang dikembangkan pakar dunia tersebut telah diadopsi oleh para pakar pendidikan di Indonsia yang konsen terhadap persoalan pluralisme. Parsudi Suparlan, pakar ilmu sosial dari UI, menjelaskan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja, pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
Wacana pendidikan multikultural di Indonesia telah bergaung sejak tahun 2000. Frans Magnis Suseno ketika itu menulis di harian Suara Pembaharuan. Suseno mendefinisikan pendidikan pluralisme sebagai pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita, sehingga kita mampu melihat ‘kemanusiaan’ sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Muaranya adalah terbangunnya nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Bangsa Indonesia dalam konteks fitrah keragamannnya diikat oleh perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu meliputi agama atau kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Mahaesa; warna kulit atau ras; etnis atau kesukuan, dan kebudayaan atau adat kebiasaan. Menempatkan dan menyadari perbedaan empat pilar tersebut dalam praktik pendidikan haruslah dilakukan. Kesadaran tersebut terbangun manakala seluruh aktivitas pendidikan di Indonesia dimuarakan pada menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Penggalian ajaran agama, ras, suku, dan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan haruslah ditanamkan pada peserta didik. Memanusiakan manusia sebagai kedudukan yang mulia merupakan ajaran semua agama. Semua agama sebagai keyakinan warga bangsa Indonesia mengakui bahwa menghargai orang lain merupakan kewajiban; memudahkan sesama umat manusia merupakan perintah Tuhan; menolong adalah perbuatan terpuji; umat yang taat adalah umat yang menjaga perdamaian hidup; dan mencintai sesama adalah ajaran semua agama.
Dengan demikian, pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan budaya peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.
C. Pendidikan Multikultural Berbasis Karakter Bangsa
Pendidikan diharapkan mampu mentransformasikan peserta didik dari belum dewasa mejadi dewasa. Ciri manusia dewasa adalah manusia yang memiliki karakter. Karena itu setiap orang dewasa memiliki karakter sebagaimana dirinya sendiri. Pendidikan karenanya mendorong seseorang menjadi diri sendiri. Wuryanano (2011:22) menyatakan bahwa karakter dapat dibentuk melalui tahapan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan.
Karakter merupakan nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum atau konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Jika dikaitkan dengan pendidikan, pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Dalam rumusan lain dapat didefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku atau karakter kepada warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Definisi tersebut mengamanatkan bahwa dengan segala perbedaan bangsa Indonesia, pendidikan di Indonesia bertujuan menjadikan warga belajar memiliki empat karakter pokok: manusia beragama, manusia sebagai pribadi, manusia sosial, dan manusia sebagai warga bangsa.
Berdasarkan empat karakter pokok tersebut dalam praktik pendidikan di Indonesia, lembaga pendidikan diharapkan mengembangkan pembiasaan berpikir dan bertindak dengan berfokus delapan belas nilai kehidupan. Penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membentuk karakter peserta didik. Kedelapan belas karakter tersebut adalah sebagai berikut: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Nilai-nilai pembentuk karakter yang harus dikembangkan di setiap lembaga pendidikan tersebut pada dasarnya merupakan pembentuk karakter insan kamil secara universal. Di tengah keragaman bangsa-bangsa di dunia, manusia Indonesia haruslah memiliki karakter keindonesiaan. Inilah sebagai penanda bangsa Indonesia yang memiliki identitas diri yang berbeda dengan bangsa lain.
Dalam rangka terbentuknya karakter keindonesiaan itu, penanaman nilai semangat kebangsaan dan cinta tanah air merupakan hal yang urgen. Nilai semangat kebangsaan dideskripsikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Nilai cinta tanah air dideskripsikan sebagai cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Dua nilai inilah sebagai basik karakter keindonesiaan. Karakter keindonesiaan dalam konteks ini didefinisikan sebagai karakter manusia Indonesia yang membedakan dengan manusia bangsa lain sebagai perwujudan eksistensi diri dan citra diri bangsa Indonesia. Pengertian ini dalam kata kunci dapat diringkas sebagai ’karakter nasionalis’.
Meskipun warga Indonesia berbeda agama, ras, suku, dan kebudayaan, aktivitas dan proses pendidikan haruslah dimuarakan pada karakter nasionalis pada peserta didiknya. Perlu diyakinkan kepada seluruh peserta didik bahwa keberadaan kita hari ini selalu terikat oleh rasa kebangsaan. Meski kita berbeda agama, ras, suku, dan budaya, kita memiliki satu persamaan. Kita sama-sama di lahirkan di Indonesia. Kita sama-sama hidup dan dibesarkan di Indonesia. Kita bekerja mencari rezeki di Indonesia. Kelak kita mati juga di Indonesia. Wajar agama mengajarkan kepada kita bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari iman. Pertanyaan yang perlu dipertanyakan kepada warga belajar adalah: apa yang dapat kita berikan kepada Indonesia?
Karakter keindonesiaan melalui penanaman nilai kebangsaan dapat dilakukan dengan penanaman sikap kepada peserta didik dalam bentuk penanaman kesadaran nasional. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah panjang, bentuk-bentuk kesadaran nasionalis Indonesia berupa: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Sejalan dengan konsep karakter keindonesiaan di atas, Tilaar (2003:173) menyatakan bahwa pendidikan multikultural diharapkan dapat mempersiapkan anak didik secara aktfi sebagai warga negara yang secara etnik, kultural, dan agama beragam, menjadi manusia-manusia yang menghargai perbedaan, bangga terhadap diri sendiri, lingkungan, dan realitas yang majemuk.
Pendidikan multikultural juga memiliki kaitan yang signifikan dalam perkembangan dunia global. Keragaman bangsa-bangsa di dunia menuntut warga dunia mengenal perbedaan agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan kepentingan (Yaqin, 2005:4). Dalam konteks ini diperlukan pemecahan masalah melalui pendidikan multikultual yang menawarkan kepada peserta didik tentang cara pandang dan sikap dalam menghadapi perbedaan dan heterogenitas kelompok etnis, relasi gender, hubungan antaragama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultural, serta bentuk-bentuk keragaman lainnya. Dalam mengembangkan pendidikan multikultural tersebut, Burnett (1994) dalam Naim dan Sauqi (2008:213) mengembangkan empat nilai. Keempat nilai tersebut adalah: apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia; pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia; dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Nilai-nilai tersebut dapat diadopsi dalam prinsip dasar pengembangan model pembelajaran berbasis pendidikan multikultural keiindonesiaan. Pertama, pendidikan multikultural sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Prinsip ini menekankan bahwa pendidikan multikultural harus dimulai dari pengenalan terhadap jati diri sendiri. Penanaman bahwa diri peserta didik merupakan bagian dari warga bangsa merupakan hal penting. Rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia harus menjadi pijakan.
1. Pendidikan multikultural hendaknya dikembangkan agar pembelajar tidak mengembangkan sikap etnosentris kesukuan dan sebaliknya membangun kesadaran hidup dalam lingkup kebangsaindonesiaan. Dengan mengembangkan sikap yang nonetnosentris, kebencian dan konflik antaretnis dapat dihindarkan karena perasaan satu bangsa. Pendidikan multikultural bertujuan membangun kesadaran yang tidak bersifat egosentris yang mengunggulkan diri dan kelompoknya dan merendahkan kelompok lain. Kesadaran satu bangsa meski berbeda kelompok sosial merupakan hal penting untuk ditumbuhkembangkan sebagai jembatan jiwa nasionalisme.
2. Pendidikan multikultural dikembangkan secara integratif. Kurikulum pendidikan multikultural menjangkau seluruh isi pendidikan. Kurikulum pendidikan multikultural harus terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran, seperti bahasa, ilmu pengetahuan sosial, sains, pendidikan jasmani, kesenian, dan mata pelajaran lainnya.
3. Pendidikan multikultural harus menghasilkan sebuah perubahan dalam bentuk perubahan sikap melalui pembiasaan. Praktik pembelajaran didesain dalam suasana masyarakat belajar yang menghargai perbedaan, toleransi, dan tujuan bersama mencintai bangsa dan negara. Untuk mencapai suasana demikian, pembelajaran harus berorientasi pada proses, misalnya bermain peran, simulasi, diskusi, pembelajaran kooperatif, dan pembelajaran partisipatoris.
4. Pendidikan multikultural harus mencakup realitas sosial dan kesejarahan dari agama, etnis, dan suku yang ada. Kontekstualisasi pendidikan multikultural harus bersifat lokal, nasional, dan global. Kebanggaan memiliki nilai kearifan lokal harus ditumbuhkan. Kesadaran nasionalisme harus menjadi tujuan bersama pendidikan nasional. Kesadaran sebagai warga global dengan menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian antarbangsa perlu dikembangkan. Kontekstualisasi semacam ini memiliki makna penting untuk menumbuhkan rasa hormat, toleran, dan menghargai keberagaman dalam lingkup kelompok sosial masyarakat, negara, dan dunia.
D. Implikasi Pendidikan Multikultural di Sekolah
Strategi pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di sekolah. Menyarikan pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;
1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah. Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda. Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis. Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.
2. Menghargai keragaman bahasa di sekolah. Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.
3. Membangun sikap sensitif gender di sekolah. ”Dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi cewek, ….”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain. Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.
4. Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial. Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing. Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati.
5. Membangun sikap antideskriminasi etnis. Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan lho”. Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif.
6. Menghargai perbedaan kemampuan. Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.
7. Menghargai perbedaan umur. Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua. Menyikapi kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.
Rohidi (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian yang mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah pertama yang berfokus pada pendidikan multikulturalisme di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pendidikan multikulturalisme di Indonesia haruslah menggali nilai-nilai agama, etnis, suku, dan kebudayaan peserta didik sebagai keyakinan mereka yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah fitrah Tuhan. Dalam segala perbedaan, rasa cinta dan kasih sayang sesama manusia merupakan hal yang harus terus ditumbuhkan. Dengan konsep ini, pendidikan mampu menciptakan toleransi, tindakan saling menolong, kedamaian, dan meningkatkan kualitas kemanusiaan dengan pola pembelajaran yang memiliki visi dan tindakan pembiasaan di semua satuan pendidikan.
Berdasarkan pembahasan masalah kedua yang berfokus pendidikan multikultural yang berbasis karakter keindonesiaan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran multikultural dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan sehingga muncul kesadaran nasional keindonesiaan.
Karakter keindonesiaan tersebut meliputi: kesadaran kebanggaan sebagai bangsa, kemandiriaan dan keberanian sebagai bangsa, kesadaran kehormatan sebagai bangsa, kesadaran melawan penjajahan, kesadaran berkorban demi bangsa, kesadaran nasionalisme bangsa lain, dan kesadaran kedaerahan menuju kebangsaan. Terwujudnya karakter keindonesiaan tersebut menjadi landasan kuat sebagai ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan keindonesiaan ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa besar di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa depan dengan keyakinan kolektif sebagai bangsa.
B. Saran
Seorang guru harus mengetahui pendidikan multikultural dalam membentuk karakter bangsa, dan memperdalam pengetahuan demi mendukung tercapainya tujuan yang diinginkan, dan mendapatkan siswa dan siswi yang berprestasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://uun-halimah.blogspot.com/2011/05/pendidikan-multikultural-dalam.html.
http://komunikasi.um.ac.id/?p=2255
http://gurupintar.ut.ac.id/download/doc_download/87-pendidikan-multikultural-pembentuk-karakter-keindonesiaan.html.
http://majalahmerahputih.wordpress.com/2010/01/03/guru-dalam-pendidikan-multikultural/
Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Burnett. 1994. Varieties of Multicultural Education: An Introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education: Digest.
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme” dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia Tera.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AMPUN KESUPEN KRITIK DAN SARANNYA...