MAKALAH
SEJARAH PERADABAN DAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM
“TASAWUF AKHLAQI DAN TASAWUF FASLAFI DAN PRINSIP-PRINSIP
PERBEDAANNYA”
Oleh:
RIDWAN
SURURI
Dosen pembimbing
Dr. Hasan Mukmin, M.Ag
Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah
Sejarah Peradaban dan
Pemikiran Dalam Islam
IAIN
RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
PROGRAM PASCA SARJANA (PPs)
KELAS
YASRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN
2012
KATA PENGANTAR
Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Alhamdulilah puji dan syukur atas
ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan karunianya kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu dan makalah ini yang berjudul : “Tasawuf
Akhlaqi Dan Tasawuf Faslafi Dan Prinsip-Prinsip Perbedaannya”.
Adapun tujuan penulis membuat
makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah pengembangan kurikulum yang
dibimbing oleh dosen Dr. Hasan Mukmin, M.Ag. Semoga makalah ini yang disusun oleh penulis dapat
bermanfaat dan berguna bagi pembaca.
Demikian makalah ini dibuat kami
menyadari di dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan
dan maka dari pada itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk mencapai
kesempurnaan makalah ini agar lebih baik lagi,dan atas kritik dan saran
kami ucapkan terima kasih.
Wassalamua’laikum Wr. Wb
Bandar Lampung, Desember 2012
Penulis
( RIDWAN SURURI )
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Secara keilmuan, “tasawuf adalah disiplin ilmu yang
baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun”.[1]
Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi ibadah kepada Allah,
meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan diri dari akhluk.
“Islam, iman dan ihsan adalah landasan untuk melakukan
suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam berpendapat bahwa
sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama adalah Islam”.[2]
Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman adalah tingkatan
pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan adalah tingkatan
pertama bagi ruh kaum
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Disini terdapat
paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu
dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, maka hadis
terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan
Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat Alquran dan Hadits Nabi
menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya
yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang
muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadah
ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan
akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan inilah hakikat
tasawuf.
B. Rumusan Masalah
- Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
- Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Falsafi ?
- Apa sajakah prinsip-prinsip perbedaan antara
tasawuf Akhlaqi dan tasawuf Falsafi?
C. Tujuan Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah,
kita sebagai manusia harus:
1. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Tasawuf
Akhlaki.
2. Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Tasawuf Falsafi.
3. Dapat mengetahui apa saja prinsip-prinsip perbedaan
antara tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi.
4. Dapat menerapkan dan mempraktekan dari prinsip tasawuf
sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.
5. Dapat melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan,
dan kepada tuhannya.
6. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaki, jika ditinjau dari sudut bahasa
merupakan bentuk frase atau dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah
idhafah. Frase jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata
menjadi satu kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus, yaitu
kata ‘tasawuf’ dan ‘akhlak’.
Secara etimologis, tasawuf akhlaqi bermakna
membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku. Jika
konteksnya adalah manusia, tingkah laku manusia menjadi sasarannya. Tasawuf
akhlaqi ini bisa dipandang sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak
manusia, atau dalam bahasa sosialnya, yaitu moralitas masyarakat. Oleh karena
itu, tasawuf akhlaqi merupakan kajian ilmu yang sangat memerlukan praktik untuk
menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus
terealisasi dalam rentang waktu kehidupan manusia.
“Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada
teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya
untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah”.[3]
Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk
merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya
dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan
tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang
cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke
titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena
itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun
sebagai berikut:
1.
Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di
lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari
perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak
menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada
urusan duniawi.
2.
Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan
tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak
tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar)
maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban
yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3.
Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah
dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah
fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang
telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir
mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur-
tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut.
Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi
pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang
dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah
dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni.
Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.[4]
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan
potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan
al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu)
yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat
as-Syams : 7-8 sebagai berikut:
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”.
B. Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf
falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology
falsafi tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya. Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan
jelas dalam khazanah islam sejak Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun
atikohnya baru dikenal seabad kemudian. Ciri umum tasawuf falsafi menurut
At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus
yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan
metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan
sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini
mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya seperti Socrates,
Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang
emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut
hermenetisme yang karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan
filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta
filsafat-filsafat Islam seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn
Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte Ismailiyah aliran
Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
Menurut keterangan lain Tasawuf Falsafi adalah tasawuf
yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang
bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat
dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya
selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai
filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan
pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat
dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan
oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap
ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan
argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.
C. Prinsip-Prinsip Perbedaan
Tasawuf Akhlaqi Dan Tasawuf Falsafi
1. Rukun Tasawuf
Al-Kalabazi dengan mengutip pendapat Abu al-Hasan
Muhammad bin Ahmad al-Farisi menerangkan bahwa rukun tasawuf ada sepuluh macam,
antara lain :
a. Tajrid at-Tauhid (memurnikan tauhid)
b. Memahami informasi. Maksudnya mendengar tingkah laku bukan
hanya mendengar ilmu saja.
c. Baik dalam pergaulan.
d. Mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang
kepentingan diri sendiri.
e. Meninggalkan banyak pilihan.
f. Ada kesinambungan antara pemenuhan kepentingan lahir
dan batin.
g. Membuka jiwa terhadap intuisi (ilham).
h. Banyak melakukan bepergian untuk menyaksikan keagungan
alam ciptaan Tuhan sekaligus mengambil pelajaran.
i.
Meninggalkan
iktisab untuk menumbuhkan tawakkal.
j.
Meninggalkan
iddikhar (banyak simpanan) dalam keadaan tertentu kecuali dalam rangka mencari
ilmu.
- Prinsip-prinsip ajaran Tasawuf
Falsafi adalah:
Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah
ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat
difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi
tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan
pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam
pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa
filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme. Para sufi yang juga filosof
pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai
alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme
dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan
filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya sering
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari
Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang diajarkan
oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah
sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
“Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam
ungkapan-ungkapan ganjil dan aneh (syathahat) yang meresahkan umat
Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa gelisah sehingga mengeluarkan
berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap para sufi falsafi”. [5]
Objek yang menjadi perhatian para tasawuf filosof
adalah:
- Latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta
instroprksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan
tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dhauq)
- Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam
gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi, malaikat, wahyu,
kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang
tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai
iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan
rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan
jalan menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat
memahami hakikat realitas-realitas.
- Prinsip-prinsip ajaran Tasawuf
Akhlaqi adalah:
Tasawuf Sunni
(akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah,
terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol
prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana
ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat dengan
dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak
hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu
tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu
kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh
kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat
antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas.
Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf
mereka dengan neraca Syari’ah. Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf
dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau
pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan
personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi,
al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi
utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada
pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau
konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya
menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf
tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis. Para sufi
yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H),
al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam
Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid
al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari.[6] Ajaran tasawuf Akhlaqi menurut Hasan Al-Bashri:
- Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram
lebih baik dari pada rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
- Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa
bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan
memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan dunia, ia akan sengsara dan
akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
- Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu
berusaha untuk mengerjakannya.
- Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah
bungkuak dan beberapa kali ditinggalkan mati suaminya.
- Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita
pada pagi dan sore hari karena berada diantara dua perasaan takut: takut
mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih
tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
- Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang
senantiasa mengancamnya, dan juga takut akan kiamat yang hendak menagih
janjinya.
- Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat
amal sholeh
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari segi linguistik tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan
selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah
akhlak mulia yang mampu membentuk seseorang ke tingkat yang mulia. Tujuan
tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat
melihat-Nya dengan mata hati bahkan Ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan.
Al-Ghazali mengatakan bahwa tasawuf itu adalah tuntunan yang dapat menyampaikan
manusia mengenal dengan sebenar-benarnya kepada Allah Swt. Tasawuf diciptakan
sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena
bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat,
puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai
berikut:
- Berupaya
menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
- Melepaskan
diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
- Menghiasi
diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
- Mencapai
derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada
teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. Dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya
untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan
tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya.
B. Saran
Setelah para pembaca selesai membaca makalah ini,
pastilah terdapat banyak kesalahan di dalam penulisan makalah di atas, memang
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran dari Bapak Dosen demi perbaikan makalah yang selanjutnya serta menuju
arah yang lebih baik.
Kemudain diharapkan kepada para pembaca untuk
pembuatan makalah selanjutnya, agar bisa menambah referensi yang lebih mendukung,
karena dalam pembuatan makalah ini penulis hanya menggunakan beberapa referansi
saja, hal ini dikarenakan keterbatasan buku referensi yang penulis dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj.
M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003.
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima.
Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional.
Ensiklopedi Islam. cet. Kesepuluh, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Mujib, M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si,
Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II
Miskawaih, Ibnu, Tahzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq,
Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyah, 1934.
A-Ghazali, Imam, Ihya’ Ulumuddin, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jil. III
Mujib, M.ag., Abdul dan Jusuf Mudzakir M.si,
Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, cet. II
[1] Siregar, Prof. H. A. Rivay,
“Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet. Kedua, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2000.
[2] Ali, Sayyid Nur Sayyid,
At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta:
Hikmah-Mizan, 2003
[3] Nata M.A, Prof. Dr. H.
Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AMPUN KESUPEN KRITIK DAN SARANNYA...