Alamat

Nama: Ridwan Sururi, S.Pd.I. Alamat: Jl. Pesantren Mathla'ul Falah no 412. Sindang Anom Kec. Sekampung Udik Kab. Lampung Timur. email. abu.hanan17@gmail.com. Facebook. Ridwan Sururi. HP. 085233552224

Sabtu, 23 November 2013

MAKALAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN: KELEBIHAN, PROBLEM DAN KENDALA. RIDWAN SURURI. DAYAMURNI TULANG BAWANG BARAT

MAKALAH
“PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN: KELEBIHAN, PROBLEM DAN KENDALA”

Oleh:
Nama        : RIDWAN SURURI
NPM        : 1222010030
Semester        : 3 (tiga)
Program        : Ilmu Tarbiah
Konsentrasi        : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah    : Pendidikan Multikultural

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah Pendidikan Multikultural

DOSEN PENGAMPU
1.    Dr. SULTHON SYAHRIL, M.A
2.    Dr. SUDARMAN, M.Ag







IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
PROGRAM PASCA SARJANA (PPs)
KELOMPOK YASRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2013

KATA PENGANTAR

Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dengan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Pendidikan multikultural. Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Allah, Rasulullah, Muhammad SAW dan keluarganya serta para pengikutnya yang selalu berjuang untuk menebar cahaya Islam sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian makalah ini, terdapat kendala yang dihadapi penulis. Mulai dari pencarian sumber bacaan dan keterbatasan waktu yang dimiliki. Alhamdulillah, meskipun demikian, kendala ini dapat diatasi sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak  yang telah berkontribusi atas penyelesaian makalah ini.  Semoga Allah SWT memberi berkah atas amal usaha kita.
Kendati demikian kami menyadari makalah ini  masih jauh dari kesempurnaan. Karena itulah, penulis mohon maaf jika di dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Akhirnya, semoga makalah Pendidikan multikultural ini dapat bermanfaat umumnya bagi para pembaca dan  khususnya bagi para mahasiswa PPS IAIN Raden Intan Bandar Lampung dan pembaca umumnya. Kami pun  terbuka menerima kritik dan saran dari para pembaca semua, guna perbaikan di masa yang akan datang.
Wassalamua’laikum Wr. Wb
                                                                        Bandar Lampung,    Oktober 2013
                                                                                           Penulis
   

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL        i
KATA PENGANTAR         ii
DAFTAR ISI        iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang        1
B. Rumusan masalah        2
C. Tujuan        2

BAB II PEMBAHASAN
A. Memahami Pendidikan Multikultural dan Hakikatnya        3
B. Keebihan dan Kekurangan Pendidikan Multikultural di Pesantren        12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan        26
B. Saran        27

DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai agama yang menjunjung tinggi perdamaian, Islam meminta kepada umatnya untuk menekankan upaya saling menghargai keragaman dan perbedaan, dan menuntut mereka untuk mampu berkontribusi secara positif dalam konteks keragaman tersebut. Tulisan ini akan mengetengahkan temuan-temuan penelitian tentang bagaimana sebuah lembaga pendidikan Islam, pesantren, berupaya untuk mengembangkan strategi dan model pendidikan yang berwawasan multikultural. Dengan argumentasi bahwa pendidikan multikultural harus didekati secara holistik atau whole-school, penelitian ini mencoba mengeksplorasi beberapa aspek penting dari pesantren seperti faham dan keyakinan akan multikulturalisme, kurikulum dan pembelajaran, visi dan kepemimpinan dalam upaya masing-masing untuk menerapkan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yang kompleks. Pesantren yang diteliti ini menunjukkan visi yang kuat dan pemahaman yang unik terhadap multikulturalisme, namun masih harus membangun strategi dan program yang sesuai dan simultan bagi pencapaian tujuan. Kultur dan tradisi pesantren masih menjadi penghalang bagi terpancangnya fondasi-fondasi kokoh pendidikan multikultural. Tulisan ini diharapkan memberikan sumbangsih dalam menggambarkan upaya lembaga keIslaman menerapkan nilai-nilai agama dalam konteks kenyataan cultural pluralism yang ada di bumi Nusantara ini.
Kasus teror dan terorisme di Indonesia memang menjadi isu hangat yang tak pernah sepi dibicarakan. Sejak kemunculan kasus peledakan bom Bali satu pada tahun 2002 dan bom Bali dua  pada tahun 2005, Indonesia menyatakan perang terhadap aksi teror dan terorisme.  Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata kasus peledakan bom yang terjadi akhir-akhir ini adalah kasus bom bunuh diri. Jika memperhatikan latar belakang para pelaku, sebagian besar merupakan alumni pondok pesantren yang sejatinya paham akan nilai-nilai luhur agama dan kitab suci. Demikian pula beberapa pelaku pengeboman Bali juga melibatkan mereka yang pernah belajar di pesantren. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Amerika Serikat mulai membidik pesantren sebagai basis terorisme di Indonesia. Munculnya asumsi yang mengatakan bahwa pesantren sebagai basis terorisme bermula saat muncul isu bahwa Pesantren Ngruki merupakan salah satu basis al Jamaah al Islamiyah. Islam yang dimiliki kalangan pesantren salaf adalah Islam yang inklusif, ramah, tidak kaku, moderat, yakni Islam yang bernuansa perbedaan dan sarat dengan nilai-nilai multikultural. Mendakwahkan Islam yang seperti inilah yang menjadikan Islam bisa bersentuhan dengan multikultur.

B.    Rumusan Masalah
1.    Bagaimana penerapan pendidikan multikultural dipesantren?
2.    Apasaja kelemahan dan kelebihan penerapan pendidikan multikultural dipesantren?
C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui bagaimana penerapan pendidikan multikultural dipesantren.
2.    Untuk mengetahui apasaja kelemahan dan kelebihan penerapan pendidikan multikultural dipesantren.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Multikultural di Pesantren
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat seperti Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
Pentingnya pendidikan multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas, tentu bukan hanya merupakan tanggung jawab sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan formal saja, akan tetapi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan institusi-institusi lainnya. Dalam kerangka ini, pesantren merupakan salah satu institusi penting dalam penyelenggaraan pendidikan multikulturalisme. Hal ini didasarkan atas berbagai fungsi yang dimiliki oleh pesantren, baik fungsi pendidikan maupun fungsi sosial. Pesantren sebagai salah satu ruang pendidikan formal dan nonformal, terutama dalam ranah pendidikan agama islam, merupakan sebuah potensi yang bisa digunakan untuk mengenalkan pemahaman mengenai multikulturalisme. Sebab dalam pesantren berkumpul beragam jenis manusia yang berlatar belakang etnik, suku dan budaya yang berbeda. Hal tersebut akan semakin kompleks bila kita hubungkan dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren.
Secara etimologi, pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ yang berarti tempat tinggal santri.  Pengertian yang berbeda tentang pengertian Pesantren dapat ditemukan dalam Ensiklopedi Islam, bahwa pesantren berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji atau dari bahasa India “Shastri” dan kata “Sastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau ilmu tentang pengetahuan.  Pesantren digunakan di Jawa untuk menyebutkan sebuah lembaga pendidikan Islam, di luar Jawa pesantren biasanya disebut Surau (Minangkabau), dayah (Aceh) dan langgar di sebagian Jawa.  Dari ungkapan diatas dapat diartikan Pesantren adalah sebuah tempat santri belajar ilmu-ilmu agama.
Adapun pengertian pesantren secara terminologis, M. Arifin mendefinisikan sebagai sebuah pendidikan islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar.  Menurut Amin Abdullah memaknai pesantren sebagai pusat persemaian, pengalaman dan sekaligus penyebaran ilmu-ilmu keislaman.  Kedua definisi tersebut mengartikan Pesantren sebagai pusat ilmu keIslaman. Menurut Matsuhu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami dan mendalami, menghayati dan mengamalkan  ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.  kata tradisional tersebut tidak selalu identik dengan keterbelakangan, kolot dan tertutup dengan perkembangan zaman. Akan tetapi menurut Ahmad Muthahar lembaga tradisional  dapat diartikan sebagai lembaga yang secara konsisten mempertahankan dan mengemangkan tradisi khazanah keilmuan Islam dan telah menyejarah sudah cukup lama dan mapan sebagai model pendidikan islam.  Disamping yang memandang pesantren sebagai pusat keilmuan Islam, sebaliknya Marwan Saridjo, menyebut pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang sekurang-kurangnya memiliki tiga unsur yaitu; 1). Kyai yang mendidik dan mengajar, 2). Santri san 3). Masjid. 
Dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, yang diakui keberadaannya oleh masyarakat, sebagai pusat mempelajari, memahami, mendalami ilmu-ilmu keislaman, untuk dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan moral agama, dengan ciri khas yaitu, Kyai, santri dan masjid. Adapun yang dinamakan pesantren modern adalah pesantren yang melakukan pembaharuan (modernisasi) dalam sistem pendidikan, kelembagaan, pemkiran dan fungsi.  Dari sejumlah kelebihan yang dimiliki pesantren, lembaga pendidikan model ini ternyata menawarkan solusi yang efektif dalam pembelajaran multi-etnis para siswanya. Dengan pola pendidikan siswa yang di-asrama-kan, pesantren dapat menjadi wadah strategis penggemblengan wawasan kultural siswa yang tinggal didalamnya.
Seorang pengasuh pesantren atau kiai, ia bisa berperan sebagai culture broker (pialang kebudayaan) sebuah istilah yang pernah dikenalkan oleh Jezewski dan Sotnik (2001), dalam hal ini ia memiliki peranan yang penting dalam menanamkan pendidikan multikulturalisme di pesantren dan lingkungan sekitarnya. Sosok kiai ataupun ustadz sebagai orang yang dijadikan panutan, bisa membentuk karakter seorang santri untuk menjadi sosok yang toleran atau bahkan menjadi seorang yang eksklusif, bahkan cenderung ekstrem. Dalam konteks ini, pendidikan pemahaman agama bisa menjadi salah satu faktor penentu pribadi seseorang akan pemahaman multikulturalisme. Karena itu, dengan asumsi agama berperan penting dalam pembentukan budaya, maka apa yang terkandung dalam gagasan multikulturalisme sesungguhnya menyangkut eksistensi agama itu sendiri. Agama bukan hanya diakui sebagai kekayaaan yang unik tetapi bisa menjadi sesuatu yang ikut lebur dalam tempat percampuran (melting pot) budaya yang diakui sebagai milik bersama. Ini sesungguhnya berpotensi untuk melahirkan —meminjam istilah Harold Titus (1979)— perang nilai (war of values) yang sebenarnya lebih dahsyat ketimbang sebuah benturan budaya seperti yang digambarkan Huntington.
Secara histotis Pesantren adalah institusi pendidikan Islam yang tertua dan memiliki akar sejarah yang jelas, serta dapat ditelusuri sampai ke pendiri pesantren pertama kali. Memang terjadi perbedaan siapa yang pertama kali mendirikan Pesantren. Mujamil Qomar menyebutkan paling tidak ada tiga pandangan tentang hal itu: pertama yang berpandangan bahwa pendiri Pesantren pertama ialah Syaikh Maulana Malik Ibrahim, dari Gujarat India, kedua berpandangan bahwa Sunan Ampel atau Raden Rahmat lah orang pertama yang  mendirikannya, yang ketiga; berpendapat Syaikh Sarif Hidayatullah yang mendirikan pesantren pertama di Nusantara.  Perbedaan tersebut menurut penulis suatu hal yang lumrah terjadi dan sah-sah saja, namun yang esensial adalah ketiga tokoh pendiri tergabung dalam kelompok penyebar agama islam yang dikenal dengan wali Songo yang sama-sama memiliki kometmen tinggi terhadap pendidikan Islam dan tentu memiliki tantangan yang berbeda dan kondisi cultural yang tak sama. Namun walaupun demikian ada analsis yang cukup cermat dalam menanggapi persoalan di atas, yang mengatakan bahwa Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Raden Rahmat sebagai wali Pembina pertama di Jawa Timur, dan adapun Sunan Gunung Jati ( Syaikh Syarif Hidayatullah) mendirikan Pesantren sesudah Sunan Ampel.
Perkembangan Pesantren tidak terlepas dari berbagai rintangan-rintangan, terutama benturan-benturan dengan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, Mastuhu meng-informasikan bahwa tantangan terberat generasi awal Pesantren adalah agama Hindu-Budha yang dianut masyarakat di mana psantren itu berada dan kepercayaan serba Tuhan dan Tahayyul.  Tantangan lain yang tak kalah beratnya adalah perjuangan melawan kemaksiatan seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian dan sebagainya. Namun akhir pertarungan dengan kemaksiatan dimenangkan oleh pesantren, yang me-ngubah wajah masyarakat maksiat menjadi masyarakat aman, tenteram dan rajin ibadah. Pesantren juga mendapat tantangan dan penyerangan dari penguasa saat itu, disebabkan mereka merasa tersaingi kewibawaannya, perlakuan ini terjadi di antaranya terhadap Sunan Giri, seketika merintis Pesantren di Kedaton, diserang dan terancam pembunuhan atas perintah raja Majapahit (Prabu Brawijaya).
Kendatipun Pesantren dihadapkan berbagai tantangan, baik cultural, ajaran agama Hindu Budha yang dianut masyarakat maupun Penguasa yang merasa kehilangan wibawa dan tersaingi. Pesantren tumbuh berkembang bukan saja sebagai pusat pendidikan Islam dan dakwah Islam, akan tetapi ia berpungsi juga  sebagai lembaga ritual dan juga lembaga pembinaan moral. Pesantren tetap eksis ditengah masyarakat mulai abad ke 15 M sampai saat ini. 
Ketika kolonial Belanda datang ke Indonesia, kemajuan pendidikan dan penyiaran Islam sedang mengalami perkembangan yang pesat. Nampaknya kondisi tersebut dianggap oleh kolonial Belanda sebagai ancaman keeksistensian mereka di tanah jajahan. Oleh karenanya setelah terjadi perjanjian Gianti tahun 1755 M, Belanda mulai berusaha melumpuhkan pengaruh islam di Jawa. Tekanan terhadap Islam semakin kuat ketika pengeran Diponegoro ditaklukkan pada tahun 1830 M.  Tekanan Belanda terhadap Pesantren tidaklah mengakibatkan eksistensinya hilang, tetapi tetap bertahan dan berkembang. Bahkan memberi perlawanan sengit terhadap penjajah Belanda, yang di dicatat oleh Clifford Geertz bahwa anata tahun 1820 – 1880, kaum santri telah melakukan empat kali pemberontakan terhadap penjajah Belanda; 1).Perang Padri di Sumatera Barat berlangsung tahun 1820-1828. 2). Pemberontakan yang dipimpin oleh Pengeran Diponegoro di Jawa Tengah tahun 1826-1830, 3). Pemberontakan Banten, pemberontakan petani 1834, 1836, 1842, 1849, 1880 dan 1888. 4). Pemberontakan Aceh tahun 1873-1903.yang dipimpin Cik Ditiro, panglima Polem, Cut Nyak Din dan lain-lain.  Walaupun berbagai upaya dilakukan oleh kolonial Belanda untuk melumpuhkan pesantren, namun Pesantren tetap mampu mempertahaankan diri disamping sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran Islam. Pesantren juga muncul sebagai pusat perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Pesantren yang tradisional diparuh abad ke 19 M, dihadapkan sebuah tantangan lain yaitu modernisasi. Menurut Anik Farida secara historis, aspek modernitas sebenarnya telah dinampakkan oleh Pesantren jauh sebelum kemerdekaan, yakni sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di kawasan Muslim. Modernisasi paling awal sistem pendidikan di Indonesia, harus diakui tidak bersumber dari kalangan Muslim sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali yang kemudian mempengaruhi sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada paruh abad ke 19 M. ini bermula dengan adanya perluasan kesempatan pribumi untuk mendapatkan pendidikan, sebagai akibat penerapan politik ethis. Program ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat atau sekolah nagari. 
Dalam kontek modernitas Pesantren, mulai muncul diawal abad ke 20, yaitu mulai munculnya dua model lembaga pendidikan Islam modern. Pertama berbentuk sekolah Umum yang diberi muatan pengajaran Islam dan kedua Madrasah Modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Sebut saja contohnya Sekolah Adabiyah di padang pada tahun 1909 M untuk model sekolah Umum dan al-Jami’atul Khairiyah atau sekolah Diniyah Thawalib.  Modernisasi Pesantren semakin nampak, pasca Indonesia merdeka, muncul berbagai Pondok Pesantren dengan label modern, seperti Pondok Modern Darussalam Gontor, Azzaitun Indramayu, Diniyah Puteri Padang Panjang dan lain-lain. Nampaknya Pesantren modern sekarang ini telah menjadi trend dikalangan umat Islam, yang memandang pesantren modern adalah lembaga pendidikan yang tetap untuk pendidikan anak-anak mereka, yang diyakini mampu memberikan distribusi bagi nyata bagi kebutuhan hidup ditengah masyarakat. Pandangan tersebut dapat diterima, jika kita melihat usaha pendidikan Pesantren Modern yang memadukan kepentingan keduaniaan dan keagamaan.
Sungguh kajian yang menarik, sebab pesantren modern secara esensi telah menunjukkan perannya dalam mengintegrasikan berbagai aspek pendidikan dalam kontek kemodernan yang diharap mampu menjawab tantangan zaman melenium tiga ini. Sehubungan dengan pembahasan penulis tentang Pesantren Modern Integrasi Pendidikan Islam, maka sistimatika dalam makalah ini akan dibahas hal-hal : a). Pendahuluan b).Pengertian Pesantren modern, c).Unsur Anorganik Pesantren, d). Unsur Organik Pesantren Modern e). Integrasi pendidikan Islam dalam Pesantren Moder,f). analisa penulis..
Hingga kini, telah tumbuh ribuan pesantren di Nusantara, yang secara garis besar dapat diklasifikasi dalam dua sistem utama: pesantren tradisional (salafiyah) dan pesantren modern. Ciri dari pesantren tradisinal adalah konsistensinya dalam melaksanakan sistem pendidikan murni dan tidak terikat formalitas pengajaran (kelas) maupun strata pendidikan dan ijazah. Pesantren model ini juga cenderung mengkhususkan diri dalam pengkajian ilmu-ilmu agama. Sedangkan pesantren modern berupaya memadukan tradisionalitas dan modernitas pendidikan. Sistem pengajaran formal ala klasikal (pengajaran di dalam kelas) dan kurikulum terpadu diadopsi dengan penyesuaian tertentu. Dikotomi ilmu agama dan umum juga dieleminasi. Kedua bidang ilmu ini sama-sama diajarkan, namun dengan proporsi pendidikan agama lebih mendominasi. Sistem pendidikan yang digunakan di pondok modern dinamakan sistem Mu’allimin. Dalam konteks pondok modern, pendidikan multikulturalisme sesungguhnya telah menjadi pendidikan dasar yang tidak hanya diajarkan dalam pengajar formal di kelas saja. Tapi juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari santri. Pendidikan formal multikulturalisme diwujudkan dalam bentuk pengajaran materi keindonesiaan/kewarganegaraan yang telah dikurikulumkan. Sistem pengajaran di pondok modern yang didominasi bahasa asing (Arab dan Inggris) sebagai pengantar, tidak melunturkan semangat pendidikan multikulturalisme anak didik (santri). Karena materi ini ditempatkan sebagai materi primer dan harus diajarkan dengan medium bahasa Indonesia pula.
Dalam bidang non formal, pesantren dengan kelebihan pendidikan intens 24 jamnya, memiliki banyak waktu untuk menyisipkan aneka pendidikan. Salah satunya multikulturalisme. Pola umum yang nyaris diberlakukan di berbagai pondok modern adalah sistem pendidikan multikultur yang menyatu dalam aturan dan disiplin pondok. Salah satunya dalam urusan penempatan pemondokan (asrama) santri. Di pondok modern, tidak diberlakukan penempatan permanen santri di sebuah asrama. Dalam arti, seluruh santri harus mengalami perpindahan sistematis ke asrama lain, guna menumbuhkan jiwa sosial mereka terhadap keragaman. Seperti halnya di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pondok Modern Gontor juga menetapkan regulasi agar setiap tahun santri diharuskan perpindahan asrama. Setiap satu semester mereka juga akan mengalami perpindahan antarkamar dalam asrama yang mereka huni. Hal ini ditujukan untuk memberi variasi kehidupan bagi para santri, juga menuntun mereka memperluas pergaulan dan membuka wawasan mereka terhadap aneka tradisi dan budaya santri-santri lainnya. Penempatan santri tidak didasarkan pada daerah asal atau suku. Bahkan, penempatan telah diatur sedemikian rupa oleh pengasuh pondok, dan secara maksimal diupayakan kecilnya kemungkinan santri-santri dari daerah tertentu menempati sebuah kamar yang sama.
Ketentuan yang diberlakukan, satu kamar maksimal tidak boleh dihuni oleh 3 orang lebih santri asal satu daerah. Menurut Dr KH Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini untuk melebur semangat kedaerahan mereka ke dalam semangat yang lebih universal. Di samping itu, agar santri juga dapat belajar kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional bersama para santri mancanegara.  Namun, penerapan pola pendidikan ini, menurut Syukri Zarkasyi, tidak berarti menafikan unsur daerah. Karena unsur kedaerahan telah diakomodir dalam kegiatan daerah yang disebut “konsulat”, yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya untuk diarahkan menolaknya menjadi sumber fanatisme kedaerahan. Pendidikan multikulturalisme lainnya dalam intensitas pendidikan pondok modern adalah diberlakukannya aturan mengikat yang melarang santri berbicara menggunakan bahasa daerah. Selain bahasa utama Arab dan Inggris, ketika masuk lingkungan pondok santri hanya dibolehkan berbicara bahasa Indonesia dalam beberapa kesempatan dan kepentingan. Pendisiplinan santri dalam pendidikan multikulturalisme lewat bahasa ini sangat ketat. Bagi santri yang melanggarnya akan diberi hukuman bervariasi yang edukatif.
Pendidikan toleransi atas perbedaan juga kental diajarkan dalam sistem pendidikan pondok modern. Keberagaman pemikiran dan ijtihad diajarkan kepada santri tanpa pemaksaan, atau mengajarkan mereka untuk memaksakan ide. Sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat sangat diunggulkan sistem pendidikan pondok modern. Dengan sistem Mu’allimin yang didukung intensitas pendidikan 24 jam, beban mengejawantahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), seperti disyaratkan dalam pendidikan formal, dapat dilalui pondok modern. Pada KBK, kendala utamanya adalah keterbatasan waktu ajar untuk memberi pemahaman penuh sebuah materi kepada siswa. Dengan sistem Mu’allimin, masa pendidikan luar kelas di pondok pesantren cenderung lebih banyak dibanding waktu formal pembelajaran di dalam kelas. Keterbatasan masa pengajaran di kelas ini pun dapat tertanggulangi pondok pesantren dengan adanya banyak waktu luang yang dapat dimanfaatkan para guru untuk melengkapi pengajaran kepada santri. Pola ini sangat mengefisiensikan waktu dan membuat pengajaran menjadi efektif. Ditambah lagi dengan arus utama sistem pendidikan di pondok modern yang tidak mengenal dikotomi pendidikan ekstrakulikuler dan intrakulikuler. 
Keutamaan pendidikan multikulturalisme di pondok modern juga tercermin dari muatan/isi kurikulum yang kentara mengajarkan pewawasan santri akan keragaman keyakinan. Dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, sebagai contoh, diajarkan materi khusus Muqaranat al-Adyan (Perbandingan Agama) yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat substansial dalam pendidikan multikulturalisme, karena santri diwawaskan berbagai perbedaan mendasar keyakinan agama mereka (Islam) dengan agama-agama lain di dunia. Materi ini sangat potensial membangun kesadaran toleransi keragaman keyakinan yang akan para santri temui saat hidup bermasyarakat kelak. Dalam pendidikan sikap multikulturalistik, pondok modern menerapkan pewawasan rutin melalui visualisasi aneka kultur dan budaya para santrinya. Setiap tahun ajaran baru digelar seremoni besar Khutbatul ‘Arsy dengan salah satu materi acara berupa pertunjukan aneka kreasi dan kreativitas pelangi budaya semua elemen santri, berdasarkan kategori “konsulat” (kedaerahan). Dalam acara ini dilombakan demontrasi keunikan khazanah dan budaya tempat domisili asal santri. Semua santri diwajibkan terlibat dalam kegiatan ini. Kegiatan pembuka tahun ajaran baru ini ditujukan untuk menjadi pencerah awal dan pewawasan kebhinekaan budaya dalam lingkungan yang akan mereka huni.

B.    Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Multikultural Di Pesantren

Sungguh banyak lembaga pesantren di Indonesia yang dapat dijadikan contoh dalam tulisan ini. Sebut saja misalnya; Ponpes. Darunnajah di Jakarta, Darussalam di Ponorogo, atau Sidogiri di Pasuruan—untuk menyebut beberapa diantara pesantren besar di Indonesia. Atau Pondok Pesantren Daruttauhid di Malang, yang punya keunikan tersendiri. Meskipun kecil, dan bukan bagian dari deretan pesantren ngetop di Indonesia, Daruttauhid memiliki heterogenitas siswa dan pengajar yang cukup representatif untuk menggambarkan Indonesia kecil. Heterogentias masyarakat santri (murid dan para guru) didalam lembaga pendidikan pesantren inilah yang menjadi kunci efektif pendidikan multikultur. Dengan sistem Asrama yang menjadi trademark pesantren, siswa yang berasal dari berbagai daerah dapat berinteraksi secara intensif, 24 jam tiap harinya. Didalam kamar tidur yang terdiri dari 4 sampai 8 orang, umumnya santri yang ditempatkan didalamnya terdiri dari etnis yang berbeda. Hal ini sengaja dilakukan agar siswa dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Di ruang makan, pada saat belajar, bermain dan berolahraga, para siswa terus berinteraksi satu dengan lainnya tanpa ada batas perbedaan diantara mereka.
Jika dibandingkan sekolah lain pada umumnya, proses pendidikan pesantren akan jauh lebih efektif dan efisien, sebab semuanya berjalan tanpa disadari pada muridnya. Murid seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang diajarkan tentang suatu hal. Proses transformasi dan saling pengaruh antar unsur-unsur budaya seperti; bahasa, dialek, cara berpakaian, makanan kesukaan, hoby, dan lain-lain, terjadi secara alamiah, tanpa harus digurui, apalagi dipaksa. Semua keanekaragaman itu menyatu dan membentuk cara hidup dan bergaul masyarakat santri didalamnya. Dalam hal ini, makna pendidikan multikultur pada lembaga pesantren tidak lagi dipahami pada tingkat deskriptif yang tertuang pada kurikulum semata, namun telah melangkah jauh kepada tingkat normatif, sebagai penentu standar perilaku. Tema-tema seperti; toleransi, perbedaan sosial-kultural, diskriminasi, konflik, dan kemanusiaan, telah menjadi wacana harian para murid. Para murid akan terlatih untuk memahami sejumlah tema tersebut, bukan saja dari sudut pandang motif, kebiasaan dan nilai pribadinya, tapi juga dari sudut pandang motif, kebiasaan dan nilai orang lain. Cara pandang ini meniscayakan pengakuan akan kesatuan dalam keragaman. Adanya ketakutan sebagian pengamat pendidikan terhadap implikasi dari pengakuan akan keragaman yang melahirkan sebuah relativitas kebenaran, tampaknya tidak perlu dirisaukan di lingkungan pesantren. Sebab relativitas kebenaran nilai diyakini kuat oleh kalangan pesantren hanya ada pada tataran sosial-kemanusiaan, bukan pada tataran ke-Ilahian. Bahkan keragaman pemahaman itu sendiri merupakan rahmat dari Allah. Sementara hanya Allah-lah yang Maha Benar. Dalam konteks kebudayaan, fokus sentral konsep relativitas kebudayaan adalah bahwa, unsur-unsur kebudayaan dapat dikatakan benar hanya karena sesuai dengan (konteks) lingkungan tersebut. (Paul Horton & Chester Hunt, 1999).

Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Multikultural serta solusinya di Pesantren:
1.    Kelebihan Pendidikan Multikultural. Dalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:
a.    Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.
b.    Membawa santri untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
c.    Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar santri dalam rangka memfasilitasi prestasi pesantren.
d.    Mengidentifikasi karakteristik ras santri dan menentukan metode pengajarannya.
e.    Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh santri dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.
2.    Kekurangan Pendidikan Multikultural dan Solusinya. Mengimplementasikan pendidikan multikultural di pesantren mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a.    Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural. Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di pesantren mereka ternyata santrinya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
b.    Munculnya Gejala Diskontinuitas. Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Santri memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di pesantren sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan pesantren. Tugas pendidikan, khususnya pesantren cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di pesantren, baik itu guru, Pengasuh pesantren, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Pesantren memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
c.    Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak. Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru. Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
d.    Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman. Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.

Pendidikan berbasis multikultur dengan sistem pesantren, tentu akan mengurangi sikap dan pandangan etnosentris/sukuisme pada diri anak. Dikatakan “mengurangi” karena pada dasarnya sebagian besar kelompok masyarakat kita masih bersifat etnosentris, (Caplow, 1964). Lebih jauh lagi, pendidikan multikultur akan mengikis habis pandangan-pandangan monolitik, yang senantiasa memposisikan diri dan kelompoknya yang paling baik, benar, dan mulia, yang sungguh tidak islami itu. Dalam konteks kebangsaan, akibat dari pandangan ini tentu lebih serius bagi keutuhan bangsa yang majemuk. Sungguh sulit menemukan pembenaran dari sikap merasa diri/kelompok lebih unggul dengan menafikkan diri/kelompok lainnya, jika kita hendak memahaminya dalam konteks hidup bersama. Namun semua itu bergantung pada karakteristik pesantren dan pengelolanya itu sendiri. Salah satunya adalah heterogenitas. Artinya, efektif-tidaknya pendidikan multikultur sangat dipengaruhi oleh heterogenitas populasi pesantren didalamnya. Pesantren yang komunitasnya cenderung homogen secara etnis dan budaya mungkin tidak tergolong dalam bahasan ini
Disamping itu, karakteristik pengelola pesantren juga memiliki peran sentral dalam pendidikan ini. Pengelola pesantren berperan penuh dalam membina keharmonisan pluralitas masyarakat santrinya. Keberpihakan terhadap suatu kelompok akan menghambat proses pendidikan multikultur yang sedang diterapkan. Dengan kata lain, pesantren yang terlanjur “berwarna” hijau, merah, biru, kuning dan lain-lain mungkin tidak masuk kedalam kategori lembaga yang efektif dalam pendidikan multikultral.
Unsur-unsur anargonik Pesantren. Unsur anargonik pesantren menurut Ahmad Muthohar terdiri dari a). Tujuan Pesantren, b). Nilai Pesantren, c). Fungsi Pesantren, d). Prinsip Pesantren dan e). Kurikulum Pesantren. 
1.    Tujuan Pesantren. Tujuan pendidikan Pesantren tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid-murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajar sikap dan tingkah laku yang bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.  Tujuan pendidikan pesantren yang lebih konprehensif sebagai yang dikutip Ahmad Muthohar dari Mastuhu adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan tangguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan islam, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. .

Mujammil Qomar mengungkapkan dua tujuan pendidikan pesantren; pertama tujuan umum yaitu membina warga Negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara. Kedua ; tujuan khusus yaitu: 1). Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi orang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, siswa/santri untuk menjadi manusia Muslim selaku kader-kader Ulama dan mubalig, yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan dinamis, 3). Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negar, 4).mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan,/masyarakat lingkungannya, 5). Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual, 6). Mendidik siswa/santri untuk membantu meningkatkan kesejahteraan  sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa. 

Semua tujuan yang diungkapkan di atas, menegaskan bahwa pendidikan pesantren memiliki posisi strategis dan penting dalam membentuk manusia-manusia Indonesia dengan sumber daya insane yang mapan spiritual, intelektual dan trampil dibingkai dengan akhlak mulia, sensitivitas terhadap lingkungan dan terbuka terhadap kemajuan zaman.

2.    Nilai Pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam niscaya dalam operasionalnya mengacu pada prinsip-prinsip nilai-nilai yang diajarankan oleh Islam itu sendiri, terutama nilai-nilai kebenaran al-Qur’an dan hadis. Oleh karenanya Ahmad Muthohar menegaskan bahwa pendidikan Pesantren  didasari dan digerakkan dan diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada pada ajaran dasar Islam. Nilai ini secara kontekstual disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Perpaduan kedua sumber inilah yang membentuk pandangan hidup dan menetapkan tujuan  yang akan dikembangkan oleh Pesantren.  Nilai-nilai dasar pesantren sebagai yang dikutip Ahmad Muthohar dari Mastuhu digolongkanmenjadi dua kelompok, yaitu: 1). Nilai-nilai agama yang memiliki nilai-nilai kebenaran mutlak yang bersifat fiqih-sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan 2). Nilai-nilai agama yang bernilai relative, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan menurut hukum agama islam.  Kedua nilai ini mempunyai hubungan vartikal dan hirarkis. Dalam kaitan ini, Kyai menjaga nilai-nilai agama kelompok pertama, sedang ustaz dan santri menjaga nilai-nilai kelompok kedua. Hal inilah yang menyebabkan dalam sistem pendidikan pesantren sosok Kyai menjadi sosok yang menentukan setiap perjalanan dan aktivitas pesantren.

3.    Fungsi Pesantren. Secara historis fungsi pesantren  selalu berubah sesuai dengan tren masyarakat yang dihadapinya, seperti masa-masa awal berdiri pesantren di zaman Syaikh Maulana Malik Ibrahim, berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam. Kedua fungsi bergerak saling menunjang. Pendidikan dapat dijadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah, sedangkan dakwah dapar dimanfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan. Pesantren dimasa awal ini, lebih dominan sebagai lembaga dakwah, sedangkan unsur pendidikan sekedar membonceng misi dakwah.   Saridjo dkk, mempertegas fungsi pesantren pada kurun wali songo adalah mencetak calon ulama dan mubalig yang militant dalam menyiarkan agama islam.  Seiring dengan perkembangan zaman fungsi pesantrenpun ikut bergeser dan berkembang, sejalan dengan perubahan-perubahan sosial kemasyarakatan, di zaman kolonial Belanda fungsi pesantren disamping sebagai pusat pendidikan dan dakwah, juga sebagai benteng pertahanan. Sebagai diungkapkan oleh A. Wahid Zaeni pesantren sebagai basis pertahanan bangsa dalam perang melawan penjajah demi lahirnya kemerdekaan. Maka pesantren berfungsi sebagai pencetak kader bangsa yang benar-benar patriotic; kader yang rela mati demi memperjuangkan bangsa, sanggup mengorbankan seluruh waktu, harta dan jiwanya.  Pesantren juga dapat berfungsi sebagai lembaga Pembina moral dan kultural, yang menurut Ma’shum  ada tiga yaitu 1). Fungsi relegius (diniyah),  2). Fungsi sosial  (ijtimaiyah) dan fungsi edukasi.  Ketika fungsi ini, masih berjalan sampai sekarang. Sejalan ketiga fungsi tersebut, Ahmad Jazuli dkk, mempertegaskan lagi bahwa fungsi pertama adalah menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau tafaqquh fiddin, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ualama dan turut mencerdaskan bangasa, kedua; dakwah menyebarkan Islam, dan ketiga benteng pertahanan moral bangsa dengan landasan akhlak karimah.  Fungsi pesantren yang multidimensional sungguh mempertegas, bahwa pesantren telah memberikan sumbangan besar terhadap bangsa Indonesia, baik dalam hal mencerdaskan ,memperjuangkan, memerdekakan ,mempertahankan, membangun  maupun memajukan bangsa Indonesia. Yang jelas fungsi pesantren bukan hanya edukasi dan dakwah, akan tetapi juga sebagai center pertahanan akhlakul karimah, pencetak manusia Indonesia berdedikasi tinggi dengan spritualitas, intelektualiatas, berketrampilan dan terbuka dengan perkembangan zaman.

4.    Prinsip-prinsip Pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang multidimensional niscaya tidak akan bertahan diterpa berbagai badai perubahan zaman. Di muka telah diuraikankan bagaimana fungsinya yang demikian konprehensif dalam sejarah Indonesia, yang bukan hanya memfungsikan diri sebagai pencetak masyarakat yang melek huruf dan budaya, akan tetapi ia juga berfungsi sebagai mesin pertahanan spiritual dan moral serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan berperan serta membangun dan memajukan bangsa Indonesia. realitas sejarah memperlihatkan kepada kita, bagai mana pesantren tetap eksis dalam perubahan zaman. Kesemuanya terjadi, disebabkan pesntren memiliki prinsip-prinsip nilai yang melandasinya. Menurut Mastuhu, sebagai yang dikutip Ahmad Muthohar pesantren mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut; 1). Teosentris; artinya sistem pendidikan pendidikan pesantren mendasarkan falsafah pendidikannya pada falsafah teosentris. 2). Suka rela dan mengabdi; karena mendasarkan kegiatan pendidikan sebagai suatu ibadah, penyelenggaraan pesantren dilaksanakan secara suka rela (ikhlas) dan mengabdi semata-mata dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, 3). Kearifan; yakni bersikap prilaku sabar, rendah hati, patuh kepada ketentuan hukum agama, tidak merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama menjadi titik tekan dalam kehidupan pesantren dalam rangka mewujudkan sikap arif, 4). Kesederhanaan; salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku warganya  adalah penampilan sederhana, dalam artian tetap berkemampuan, bersikap dan berpikir wajar, professional dan tidak merugikan orang lain. 5). Kolektivitas; pesantren menekankan pentingnya kolektivitas daripada induvidualisme. Implikasi dari prinsip ini, di Psantren berlaku pendapat bahwa dalam masalah hak seseorang harus mendahulukan kepentingan orang lain, sedangkan dalam masalah kewajiban, dia harus mendahulukan kewjibannya sendiri sebelum orang lain. Prinsip ke 6). Mengatus kegiatan bersama. Merujuk kepada nilai-nilai pesantren yang bersifat relative, santri, dengan bimbingan ustaz dan kiai, mengatur hampir semua kegiatan proses belajarnya sendiri, 7). Kebebasan terpimpin. Prinsip ini digunakan pesantren dalam menjalankan kebijakan kependidikannya. 8). Mandiri; dalam kehidupan pesantren, sifat mandiri tanpa jelas. Sikap ini dapat dilihat dari aktivitas keseharian santri dalam mengatur dan bertenggung jawab atas keperluannya sendiri, 9). Mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Pesantren sangat mementingkan pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kehidupannya selalu dalam rambu-rambu hukum Islam, 10). Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi. Ilmu bersifat suci dan tidak terpisah dari bagian agama, sehingga moder berpikirpun beranhkat dari keyakinan dan berakhir pada kepastian. Ilmu tidak dipandang sebagai kemampuan berpikir metodologis, melainkan sebagai berkah. Sedangkan prinsip yang ke 11). Tanpa ijazah. Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, pesantren tidak memberikan ijazah atau sertifikatsebagai tanda keberhasilan belajar.Alasannya, keberhasilan tidak diukur dengan ijazah yang ditandai dengan angka-angka, tetapi diukur dengan prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat, 12). Restu Kyai. Dalam kehidupan Pesantren, semua aktivitas warga pesantren sangat tergantung pada restu kyai, baik ustaz, pengurus, maupun santri. 

5.    Kurikulum. Dalam abad ke 19 M, sulit ditemukan rincian pelajaran di Pesantren, namun ada sedikit petunjuk secara implicit dari hasil penelitian L.W.C. Van den Berg sebagai yang dikutip Steenbrink bahwa materi tersebut meliputi fiqih, tata bahasa arab, ushul al din, tasawuf dan tafsir.   Ahmad Muthohar berpendapat bahwa materi pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam suatu kitab, sehingga terdapat tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjut. Materi pelajaran awal pesantren dimulai dengan membaca al-Qur’an dan praktek ibadah kemudian berkembang pada mata pelajaran yang lain.  Terdapat delapan kelompok kitab yang diajarkan di Pesantren yaitu; 1). Nahu, 2). Sharaf, 3). Fiqih, 4). Ushul Fiqih, 5).Tafsir, 6). Tauhid, 7). Tasawuf dan etika, cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.  Menurut Marwan Saridjo, untuk tingkat lanjut pertama pada umumnya pesantren menggunakan di antaranya : 1). Nahu; Tahrijul Aqwal, matan aljurumiyah dan mutammimah, 2). Sharaf; Matan bina salsalatul Mukhdal, al-Kailani dan al-Mathub, 3).Fiqih: Matan Taqrib, fathul qorib atau al-Baijuri, Fathul Mu’in atau I”anatu thalibin, 4).Tauhid: Matan Assanusi, Kifayatul awam dan Hudhadi, 5). Usul Fiqih: al-Waraqat, Lathaiful Isyarah dan Ghayatul Wushul, 6). Mantiq; Matan Sulam dan Idhahul Mubham, 7). Al-Balaghah: Majmu’ Khamsir Rassail dan al-bayan, 8). Tasawuf /Akhlak: Maraghi al-Ubudiyah dan Tanbihul Ghafilin. Dan untuk tingkat tahssus para santri diperkenankan mempelajari kitab-kitab: 1). Hukum Islam: Tuhfatul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, 2). Hadis: Fathul bari, Qusthalani, 3). Tasawuf: syarah Ihya ulumuddin Ibnu Arabi, 4). Tafsir : Ibnu Jarir at-Thabari dan 5). Kitab-kitab besar atau pengetahuan khusus lainnya.  Pengajaran pada tingkat tinggi Pesantren adalah metode seminar bagi santri lanjut dan ustaz-ustaz. Sistem ini terorganisir dan terlaksana dalam pesantren-pesantren besar sebagai kelas “musyawarah”. Dari tiap peserta diharapkan secara insentif mempersiapkan diri untuk setiap tema dan mempelajari bahan-bahan yang lebih sukar. Kemudian Kiai memberikan ceramah dalam tema-tema yang telah disepakati atau tafsir ayat-ayat yang relevan, yang akhirnya dibahas oleh peserta di antara mereka sendiri. Penjelasan dan keterangan diarahkan oleh seorang pempinan diskusi yang diangkat sebagai moderator. Pimpinan seminar kemudian menyampaikan hasil-hasil semenar kepada Kiai, kemudian kyai menyampaikan pandangannya tentang tema-tema yang dibahas dalam seminar. 
Menurut Ahmad Jazuli dkk, Madrasah atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum di Madrasah atau sekolah lain yang telah  diberlakukan oleh Depertemen Agama dan Depertemen Pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan lain yang diselenggarakan oleh pondok pesantren selain Madrasah dan sekolah kurikulumnya disusun oleh penyelenggara/pondok pesantren yang bersangkutan. 

Menyikapi perlakuan diskriminatif dan kezhaliman ini, pesantren terus bertahan dan melawan dalam bentuk sikap non-kooperatif, ‘uzlah, bahkan perlawanan bersenjata atau jihâd fîsabîlillâh. Bisa dicatat di sini sebagai contoh perjuangan Pangeran Diponegoro di Jawa, pemberontakan umat Islam di Banten, perjuangan Paderi di Sumatera Barat dan Aceh. Karena peran inilah, maka konon menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah mengusulkan agar pendidikan pesantren dijadikan sistem pendidikan nasional. Sebagai imbas dari dampak psikologis yang timbul dari hasil propaganda kolonial di atas, maka pada era pascakemerdekaan muncullah dikotomi yang sungguh ironis dan amat merugikan hubungan harmonis masyarakat Indonesia. Yaitu dikotomi kaum santri dan abangan. Peran pesantren pun diliputi pandangan sinis dan melecehkan, hingga tercuatlah upaya sistematis yang bertujuan melakukan kembali stigmatisasi Pesantren.
Dari hasil penilaian tidak adil ini maka lahirlah UU sistem pendidikan yang merugikan Pesantren. Mulai dari UU no. 4 tahun 1950, UU no. 14 PRPS tahun 1965, UU no. 19 PNPS, hingga UU SPN no. 2 tahun 1989. Kesemuanya tidak mencantumkan pengakuan formal terhadap pendidikan pesantren sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, dan menafikan jasa berabad-abad pesantren dalam pembentukan sistem pendidikan nasional.  Namun, kenyataan faktual saat ini justru tengah menunjukkan kian kuat, besar dan pentingnya peran Pesantren. Terbukti dengan makin menjamurnya kemunculan Pondok-pondok pesantren dengan berbagai corak, nama, sistem dan tingkatan pendidikan, bukan hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Minat para orang tua untuk mengirimkan putra-putrinya ke pesantren juga kian meningkat, termasuk di kalangan elit masyarakat.
Dari hasil pengamatan dan kajian, para pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini telah diakui. Produk pendidikan pesantren pun kini telah banyak bermunculan menjadi tokoh penting dalam berbagai sektor pembangunan, dan terbukti mampu memberi kontribusi sangat besar bagi bangsa. Ditambah lagi dengan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh dunia pendidikan luar negeri, dan jalinan kerjasama antara pondok pesantren dengan dunia internasional yang terus terjalin mulus. Hingga tak ayal jika banyak tokoh-tokoh internasional berminat menjadikan pesantren sebagai objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara untuk belajar di pesantren.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan, khususnya pondok pesantren merupakan institusi yang tepat dalam memberdayakan pendidikan yang bersifat multikultural. Tidak dapat dipungkiri, bahwasannya pondok pesantren tidak hanya menekankan pada pendidikan agama semata. Akan tetapi, juga memberikan nilai plus dalam pembentukan akhlak dan pengembangan potensi anak di dalam setiap pergaulan yang dilandasi sifat kekeluargaan dan saling tolong menolong.
Kehidupan yang berlangsung dalam pondok pesantren telah diatur sedemikian rupa sehingga seorang santri yang belajar di dalamnya akan merasakan bahwa dirinya sedang berada diantara keluarga. Ia diajarkan untuk bergaul dan berkreasi bersama teman-temannya yang mempunyai latar belakang berbeda-beda.
Segala macam perselisihan dan persaingan yang timbul dari perbedaan struktur budaya, akan mendorong santri untuk lebih memahami arti persatuan dan kebersamaan. Pesantren melihat perbedaan bukanlah jurang yang akan pemisah. Tapi, ia adalah jembatan untuk mendongkrak prestasi dan bakat santri.
Dengan berbagai macam perbedaan, mereka dituntut untuk bekerja sama antara satu dengan yang lainnya dan menekan segala ego yang mungkin timbul dalam pergaulan mereka menjadi sebuah motivasi untuk bergerak maju kedepan dan menghasilkan kreasi dan inovasi yang baru.
Pendidikan yang berwawasan multikultural secara prinsip telah diterapkan dalam sistem pendidikan pondok modern. Pendidikan ini telah tercakup dalam sistem formal kurikulum maupun proses pembelajaran sehari-hari. Dengan sistem yang ada, pondok pesantren modern sangat potensial mengembangkan pendidikan berwawasan multikultural, dan layak menjadi contoh sukses implementasi pendidikan multikulturalisme. Walau masih ada beberapa aspek yang kiranya perlu dikembangkan dan disempurnakan lebih lanjut. Pondok pesantren memiliki tanggungjawab besar dan peran strategis dalam mengembangkan pendidikan Islam berwawasan multikultural. Hal ini disebabkan karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan awal yang banyak mencetak agamawan dan intelektual Muslim. Dan lembaga ini secara emosional dan kultural sangat erat kaitannya dengan masyarakat akar rumput. Untuk itu, lulusan pondok pesantren menjadi sangat strategis dalam perannya mengembangkan pendidikan Islam yang berwawasan multikultural.
Dari hasil pengamatan dan kajian, para pakar dan pemerhati pendidikan, keunggulan sistem pendidikan pesantren ini telah diakui. Produk pendidikan pesantren pun kini telah banyak bermunculan menjadi tokoh penting dalam berbagai sektor pembangunan, dan terbukti mampu memberi kontribusi sangat besar bagi bangsa. Ditambah lagi dengan adanya pengakuan persamaan (akreditasi) pendidikan pondok pesantren oleh dunia pendidikan luar negeri, dan jalinan kerjasama antara pondok pesantren dengan dunia internasional yang terus terjalin mulus. Hingga tak ayal jika banyak tokoh-tokoh internasional berminat menjadikan pesantren sebagai objek penelitian mereka, bersamaan dengan meningkatnya minat santri-santri mancanegara untuk belajar di pesantren.

     B.  Saran
Seorang guru harus mengetahui pendidikan multikultural dipesantren, dan memperdalam pengetahuan demi mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan, dan mendapatkan siswa dan siswi yang berprestasi.

DAFTAR PUSTAKA


Abu Bakar Aceh,  Sejarah Hidup K.H.A Wahid Hasyim dan Karangan tersiar, (tt: tp, 1957).

Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok Modern Gontor, (Ponorogo: Trimurti Press, tt).

Ahmad Jazuli dkk, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bengkulu: PPSB STAIN Bengkulu, 2006).

Ahmad Muthohar, Idologi Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Pustaka, 2007).

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1995.

Anik farida dkk, Modernisasi Pesantren, Depag RI Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama, (Jakarta: tp, tt)

Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 1993).

Marwan Sarijo dkk, Sejarah Pondok  Pesantren di Indonesia, (Jakarta: dharma Bhakti, 1979).

Mastuhu, Dalam Wacana Baru Fiqih Sosial  70 tahun KH. Yafie, (Bandung: Mizan,  1997).

M. Arifin, Kafita Selekta Pendidikan islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991).

Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti, 1979).

Matsuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994).

Mohammad Tidjani Djauhari MA, Menebar Islam Meretas Aral Dakwah, (Jakarta: Taj Publishing, 2008).

Muhammad Tholhah Hasan, Santri Perlu Wawasan baru, (ttp, tp, 1997).

Mujammil Qomar, Pesantren Dari Tranformasi Metodologi menuju Demokratisasi Instuisi, (Jakarta: Erlangga, tt).

Saifuddin Zuhri, Kiai Haji Abdul Wahab Khasbullah Bapak dan Pendidiri Nahdhatul Ulama, (Yogyakarta: Pustaka Falakiayah, 1983)

Zamakhsyari Dofir, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AMPUN KESUPEN KRITIK DAN SARANNYA...