MAKALAH
“KONSEP ISLAM TENTANG ETIKA PROFESIONAL
DALAM PENDIDIKAN”
OLEH
Nama : RIDUAN SURURI
NPM : 1222010030
Prodi : Ilmu Tarbiyah
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Di
Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Semester
Mata
Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
DOSEN
PEMBIMBING
Dr.
H. ACHMAD ASRORI, MA
Dr. JAMAL
FAKHRI, M.Ag
IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
PROGRAM PASCA SARJANA (PPs)
KELOMPOK YASRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2012
KONSEP ISLAM TENTANG ETIKA PROFESIONAL
DALAM PENDIDIKAN
1. Pengertian Etika
Istilah etika berasal dari kata
“ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli
yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan sebutan moral, yang juga
berasal dari bahasa Yunani, berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang
nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat
dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam kehidupan.
Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbutan manusia. Cara
memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang
perilaku manusia. Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim difahami sebagai
teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai yang baik dan yang buruk
berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha
dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai hidup yang baik. Persoalan
etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau
kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit,
sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang difahami,
diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut
ethos. Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua:
obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan
suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri.
Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu
tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang melakukannya,
atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan
rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama
pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam Islam pada batas tertentu
ialah aliran Mu’tazilah.
Aliran kedua ialah subyektifisme,
berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik jika sejalan dengan kehendak
atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek itu bisa berupa subyektifisme
kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme
etika ini terbagi kedalam beberapa aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas
Hobbes sampai ke faham tradisionalismenya Asy’ariyah. Menurut faham Asy’ariyah,
nilai kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada obyektivitas nilainya,
melainkan pada ketaatannya pada kehendak Tuhan. Asy’ariyah berpandangan bahwa
menusia itu bagaikan ‘anak kecil’ yang harus senantiasa dibimbing oleh wahyu
karena tanpa wahyu manusia tidak mampu memahami mana yang baik dan mana yang
buruk.
2.
Etika Dalam Pandangan Islam
Kalau kita sepakati bahwa etika
ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana
halnya dengan teori etika dalam Islam. Sedangkan telah disebutkan di muka, kita
menemukan dua faham, yaitu faham rasionalisme yang diwakili oleh Mu’tazilah dan
faham tradisionalisme yang diwakili oleh Asy’ariyah. Munculnya perbedaan itu
memang sulit diingkari baik karena pengaruh Filsafat Yunani ke dalam dunia
Islam maupun karena narasi ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang mendorong lahirnya
perbedaan penafsiran. Di dalam al-Qur’an pesan etis selalu saja terselubungi
oleh isyarat-isyarat yang menuntut penafsiran dan perenungan oleh manusia. Etika
Islam memiliki antisipasi jauh ke depan dengan dua ciri utama. Pertama, etika
Islam tidak menentang fitrah manusia. Kedua, etika Islam amat rasionalistik.
Sekedar sebagai perbandingan Alex Inkeles menyebutkan mengenai sikap-sikap
modern. Setelah melakukan kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai
modernisasi, Inkeles membuat rangkuman mengenai sikap-sikap modern sabagai
berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan-gagasan baru dan mencoba
metode-metode baru; kesediaan buat menyatakan pendapat; kepekaan pada waktu dan
lebih mementingkan waktu kini dan mendatang ketimbang waktu yang telah lampau;
rasa ketepatan waktu yang lebih baik; keprihatinan yang lebih besar untuk
merencanakan organisasi dan efisiensi; kecenderungan memandang dunia sebagai
suatu yang bisa dihitung; menghargai kekuatan ilmu dan teknologi; dan keyakinan
pada keadilan yang biasa diratakan.
Selanjutnya, berkaitan dengan etika
(sikap, perilaku, dan tanggung jawab) seorang pendidik profesional dalam
menjalankan tugasnya, al-Ghazali mengemukakan beberapa hal yang harus dimiliki
dan dilakukan seorang pendidik. Hal ini sebagai landasan etika-moral bagi para
pendidik (guru/dosen/seprofesinya). Gagasan al-Ghazali tersebut antara lain
sebagai berikut:
a. Pendidik merupakan Orang
Tua bagi Peserta Didik. Seorang pendidik harus memiliki kasih sayang kepada
peserta didiknya sebagaimana kasih sayangnya terhadap anaknya sendiri, jika ia
ingin berhasil dalam menjalankan tugasnya. Sebuah hadits menyatakan:
“Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seperti seorang ayah bagi anaknya”. Hadits
tersebut menuntut seorang pendidik agar tidak hanya sekedar menyampaikan materi
pelajaran, tetapi harus bertanggung jawab penuh seperti orang tua kepada anak.
Jika setiap orang tua memikirkan masa depan anaknya, bagaimana anaknya besok
hidup, maka pendidik pun harus memikirkan masa depan peserta didiknya.
Sayangnya, interaksi belajar antara pendidik dan peserta didik saat ini kurang
mendapatkan perhatian serius dari banyak pihak. Pendidik sering tidak bisa
tampil sebagai figur yang pantas diteladani oleh peserta didik, apalagi sebagai
orang tua.
Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
Oleh karena itu, seringkali pendidik dipandang dan dinilai oleh peserta didik sebagai orang lain yang mengajar dan kemudian menerima bayaran. Kalau demikian, bagaimana pendidik akan bisa mengarahkan, membimbing, serta memberi petunjuk kepada peserta didiknya menuju pendewasaan diri dan kehidupan yang mandiri. Dari itu, waspadalah wahai para pendidik, perankanlah profesi anda seperti orang tua yang bertanggung jawab penuh kepada anak, jangan sia-siakan tugas mulia anda dan jangan lengah dalam menanamkan nilai-nilai etik-agamis kepada parapeserta didik. Patut direnungkan apa yang dikatakan al-Ghazali; “Hak guru (pendidik) atas muridnya (peserta didik) lebih agung dibanding hak orang tua terhadap anaknya. Orang tua sering hanya menjadi penyebab adanya anak sekarang di alam fana dan guru menjadi penyebab hidupnya yang kekal”.
b. Pendidik sebagai Pewaris
Para Nabi. Dalam menjalankan tugasnya, pendidik harus memposisikan diri seperti
para Nabi, yakni mengajar dengan ikhlas mencari kedekatan diri kepada Allah
SWT. dan bukan mengejar materi. Para pendidik harus membimbing peserta didiknya
agar belajar bukan karena ijazah semata, mengejar harta, jabatan, popularitas,
dan kemewahan duniawi, sebab semua itu bisa mengarah pada sifat materialistis.
Sementara seorang pendidik yang materialistis akan membawa kehancuran bagi
dirinya sendiri dan peserta didiknya. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali;
“Barang siapa mencari harta dengan menjual ilmu, maka bagaikan orang yang
membersihkan bekas injakan kakinya dengan wajahnya. Dia telah mengubah orang
yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi orang yang dilayani.”
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan yang kontra dengan al-Ghazali dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul SAW. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
Pernyataan al-Ghazali yang terkesan mencela pendidik yang mencari upah ini tidak kemudian harus diartikan, al-Ghazali melarang pendidik yang menerima upah sebagaimana kesimpulan sebagian ilmuwan yang kontra dengan al-Ghazali dalam memandang pendapat al-Ghazali tentang upah bagi pendidik karena harus mengikuti jejak Rasul SAW. Memang sebelumnya al-Ghazali pernah menyatakan: “Hendaklah guru (pendidik) mengikuti jejak Rasulullah SAW; maka ia tidak mencari upah, balasan, dan terima kasih, tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya.” Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pendidik harus ikhlas dalam mengajar dan kriteria ikhlas itu tidak hanya bersihnya tujuan dari mencari upah. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupkan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya sebagai manusia yang sempurna. Lebih jelasnya, ikhlas adalah pekerjaan atau amal dan semua aktivitas yang bernilai ibadah yang dikerjakan dengan tujuan mencari kedekatan diri kepada Allah. Jadi secara prinsip, al-Ghazali tidak mengharamkan pendidik yang menerima upah karena mengajar.
c. Pendidik sebagai pembimbing
bagi peserta didik. Di samping dengan rasa ikhlas dan kasih sayang, pendidik
harus membimbing peserta didik dengan sabar dan tekun. Pendidik harus
memberikan pengarahan kepada peserta didik agar mempelajari ilmu secara
sistematis, setahap demi setahap. Hal ini karena manusia tidak bisa merangkum
ilmu secara serempak dalam satu masa perkembangan. Di samping itu pendidik
jangan lupa memberi nasihat kepada peserta didik bahwa menuntut ilmu itu bukan
dengan niat mencari pangkat dan kemewahan dunia, namun menuntut ilmu hakikatnya
adalah untuk mengembangkan ilmu itu sendiri, menyebarluaskannya dan mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Hal itu sebagaimana pernyataan al-Ghazali; “Hendaknya
seorang pendidik tidak lupa memberikan nasihat kepada murid (peserta didik),
yakni dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat sebelum menguasai tingkat
sebelumnya; dan belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang.
Setelah itu menjelaskan kepadanya bahwa maksud menuntut ilmu adalah mendekatkan
diri kepada Allah; bukan untuk menjadi kepala dan mencari kemegahan.”
d. Pendidik sebagai Figur
Sentral bagi Peserta Didik. Al-Ghazali memberi nasihat kepada para pendidik
agar memposisikan diri sebagai teladan dan pusat perhatian bagi peserta
didiknya. Ia harus memiliki kharisma yang tinggi. Ini merupakan faktor penting
bagi pendidik untuk membawa peserta didik ke arah yang dikehendaki. Di samping
itu, kewibawaan juga menunjang perannya sebagai pembimbing, penuntun, dan
penunjuk jalan bagi peserta didik. Disamping pendidik sebagai orang tua peserta
didik dan sifat kasih sayang yang dimilikinya, adalah bijaksana apabila pada
saat tertentu pendidik juga sebagai teman belajar peserta didik sehingga
terjadi proses dialogis. Hal ini dilakukan agar tidak salah arah dalam memberikan
bimbingan ke arah terwujudnya cita-cita pendidikan yang dikehendaki.
e. Pendidik sebagai motivator
(pendorong) bagi peserta didik.
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep). Dengan demikian, saran al-Ghazali agar pendidik selalu memperhatikan kemampuan peserta didik sangat perlu untuk diindahkan. Menurut al-Ghazali, Seorang pendidik sebagai penanggung jawab pada salah satu bidang studi tidak boleh menjelek-jelekkan mata pelajaran atau bidang studi yang lain, sebab hal itu merupakan budi tercela bagi pendidik dan harus dijauhi. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang pendidik yang bertanggung jawab pada satu bidang studi membuka jalan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mempelajari bidang studi yang lain. Kalau ia bertanggung jawab dalam berbagai bidang studi, hendaklah menjaga kemampuan peserta didik setingkat demi setingkat.
Sesuai dengan pandangannya bahwa manusia tidak bisa merangkum pengetahuan sekalaigus dalam satu masa, al-Ghazali menyarankan kepada para pendidik agar bertanggung jawab kepada satu bidang ilmu saja. Walaupun demikian, al-Ghazali mengingatkan agar seorang pendidik tidak mengecilkan, merendahkan dan meremehkan bidang studi lain. Sebaliknya, ia harus memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengkaji berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kalaupun harus bertanggung jawab kepada berbagai bidang ilmu pengertahuan, pendidik haruslah cermat dan memperhatikan kemampuan peserta didik, sehingga bisa maju setingkat demi setingkat (steep by steep). Dengan demikian, saran al-Ghazali agar pendidik selalu memperhatikan kemampuan peserta didik sangat perlu untuk diindahkan. Menurut al-Ghazali, Seorang pendidik sebagai penanggung jawab pada salah satu bidang studi tidak boleh menjelek-jelekkan mata pelajaran atau bidang studi yang lain, sebab hal itu merupakan budi tercela bagi pendidik dan harus dijauhi. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang pendidik yang bertanggung jawab pada satu bidang studi membuka jalan seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mempelajari bidang studi yang lain. Kalau ia bertanggung jawab dalam berbagai bidang studi, hendaklah menjaga kemampuan peserta didik setingkat demi setingkat.
f. Pendidik seharusnya
memahami tingkat kognisi (Intelektual) Peserta Didik. Menurut al-Ghazali, usia
manusia sangat berhubungan erat dengan perkembangan intelektualnya. Anak
berusia 0-6 tahun berbeda tingkat pemahamannya dengan anak berusia 6-9 tahun,
anak berusia 6-9 tahun berbeda dengan anak usia 9-12 tahun, dan seterusnya.
Atas dasar inilah al-Ghazali mengingatkan agar pendidik dapat menyampaikan ilmu
dalam proses belajar mengajar dengan cermat dan sesuai dengan perkembangan
tingkat pemahaman peserta didik. Dari itu metode yang digunakan harus tepat dan
sesuai. Dalam hal ini al-Ghazali berkata: “Pendidik hendaklah menyampaikan
bidang studi yang sesuai menurut tenaga pemahaman peserta didik”. Jangan
memberikan bidang studi yang belum saatnya untuk diberikan, nanti peserta didik
lari atau otaknya tumpul.
g. Pendidik sebagai teladan
bagi peserta didik. Dalam rangka mengajak manusia ke jalan yang benar,
Rasulullah dibekali oleh Allah akhlak yang mulia sehingga beliau menjadi contoh
yang baik (teladan) bagi setiap umat manusia. Apa yang keluar dari lisannya
sama denga apa yang ada di dadanya, sehingga perbuatannya pun sama dengan
perkataannya. Menurut al-Ghazali, seorang pendidik juga harus demikian dalam
mengamalkan ilmunya, tindakannya harus sesuai dengan apa yang telah
dinasihatkan kepada peserta didik. Ajaran fundamental yang harus diberikan
adalah yang berkaitan dengan etika, moral (akhlak), dimana semuanya terhimpun
dalam ajaran agama. Dengan demikian yang disebut dengan etika menurut konsep
Islam adalah sebagai perangkat nilai yang berisikan sikap, prilaku secara
normative, yaitu dalam bentuk hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan
alam semesta dari sudut pandang historisitas. Etika sebagai fitrah akan sangat
tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan seseorang. Maka Islam
menganjurkan kepada manusia untuk menjunjung etika sebagai fitrah dengan
menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan
melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan
sosial hanya dan untuk mengabdi pada Allah SWT, di sinilah peran orang tua
dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan
menyikapinya dengan bijak dan damai sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa
kedamaian untuk semesta.
3.
Mengenal Konsep Profesionalisme
Dalam Kamus Besar Indonesia,
profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang
merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan
sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa
setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian
dalam bidangnya atau profesinya.
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, ada yang sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi, dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu:
Menurut Supriadi, penggunaan istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai suatu profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, ada yang sedang dan rendah. Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Konsep profsionalisme, seperti dalam penelitian yang dikembangkan oleh Hall, kata tersebut banyak digunakan peneliti untuk melihat bagaimana para profesional memandang profesinya, yang tercermin dari sikap dan perilaku mereka. Konsep profesionalisme dalam penelitian Sumardi, dijelaskan bahwa ia memiliki lima muatan atau prinsip, yaitu:
a. Afiliasi komunitas
(community affilition) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk
di dalamnya organisasi formal atau kelompok-kelompok kolega informal sumber ide
utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran
profesi.
b. Kebutuhan untuk mandiri
(autonomy demand) merupakan suatu pendangan bahwa seseorang yang profesional
harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain
(pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur
tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap
kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang
memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi
secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang
terbaik menurut yang bersangkutan dalam situasi khusus.
c. Keyakinan terhadap
peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling
berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi,
bukan “orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan
pekerjaan mereka.
d. Keempat, dedikasi pada
profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan
pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan tetap untuk melaksanakan
pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik dipandang berkurang. Sikap ini merupakan
ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan
didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi,
sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan ruhani
dan setelah itu baru materi.
e. Kewajiban sosial (social
obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang
diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan
tersebut. Kelima pengertian di atas merupakan kreteria yang digunakan untuk
mengukur derajat sikap profesional seseorang. Berdasarkan defenisi tersebut
maka profesionalisme adalah konsepsi yang mengacu pada sikap seseorang atau
bahkan bisa kelompok, yang berhasil memenuhi unsur-unsur tersebut secara
sempurna.
Selanjutnya akan dibahas mengenai
profesional, dalam rangka untuk mengerti hakikat profesional, ada beberapa kata
kunci yang disimak yaitu profesi, profesionalsme dan profesional. Profesi
adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para
petugasnya. Artinya pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan
oleh orang yang tidak terlatih dan tidak dsiapkan secara khusus terlebih dahulu
untuk melakukan pekerjaan itu. Profesionalisme adalah jabatan atau pekerjaan
yang dilandasi kompetensi dibidangnya, berupa pengetahuan, ketrampilan dan
keahlian khusus, sebagai kualitas tindak tanduk yang mencermnkan tenaga
profesional. Menurut Ahmad Tafsir profesionalisme adalah paham yang mengajarkan
bahwa setiap pekerjaan harus dilakukan oleh orang yang profesional. Orang yang
profesional adalah orang memiliki profesi. Profesional menunjuk pada dua hal,
pertama orang yang menyandang suatu profesi, kedua penampilan seseorang dalam
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Kompetensi profesional
merupakan kompetensi yang berkaitan langsung dengan ketrampilan mengajar,
penguasaan terhadap materi pelajaran dan penguasaan penggunaan metodologi
pengajaran serta termasuk didalam kemampuan menyelenggarakan administrasi
sekolah, inilah keahlian khusus yang harus dimiliki oleh guru yang profesional
yang telah menempuh pendidikan khusus keguruan.
Dengan demikian profesional dalam
Islam khususnya dibidang pendidikan, seseorang harus benar-benar mempunyai
kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas
jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik.
Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak
akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad
SAW:
إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ. رُوَاهُ الْبُخَارِيْ
”Apabila suatu perkara diserahkan
kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (HR. Bukhori).
Firman Allah SWT QS. al-Isra’ ayat 84:
@è% @@à2 ã@yJ÷èt 4n?tã ¾ÏmÏFn=Ï.$x© öNä3/tsù ãNn=÷ær& ô`yJÎ/ uqèd 3y÷dr& WxÎ6y
Artinya : “Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
4. Eksplorasi Singkat
Tentang Pendidikan (Islam)
Secara sederhana, pendidikan dapat
diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Sementara pendapat lain mengatakan, bahwa pendidikan mencakup
berbagai dimensi, antara lain akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas
kejiwaan manusia serta bakat-bakat dan kemampuannya. Oleh karena itu pendidikan
merupakan usaha pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menuju
kesempurnaan.
Bagaimana dengan pendidikan Islam? Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam adalah bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, rasa, intuisi, dan sebagainya) serta raga peserta didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam. Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Bagaimana dengan pendidikan Islam? Menurut Abudin Nata, pendidikan Islam adalah bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh pendidik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, rasa, intuisi, dan sebagainya) serta raga peserta didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam. Endang Saefuddin Anshari memberi pengertian secara lebih tehnis, pendidikan Islam sebagai proses bimbingan (pimpinan, tuntunan dan usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai ajaran Islam. Pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Muhammad SAW. Sedangkan menurut hasil rumusan Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai: “bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”
Paradigma pendidikan Islam tidak
pernah memisahkan antara akal dan jiwa. Menurut Malik Fadjar (1995), dalam
pendidikan Islam, Islam terkadang ditempatkan sebagai sumber nilai pendidikan,
atau terkadang dijadikan bidang studi, dan/atau dijadikan sebagai keduanya;
disamping sebagai sumber nilai juga sebagai bidang studi yang dipelajari dalam
proses pendidikan. Dengan demikian, maka pendidikan Islam selalu mendasarkan
konsep-konsepnya kepada sumber ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadits (dan
mungkin juga pemikiran para ulama terutama Muslim).
Konsep pendidik yang dirumuskan
al-Ghazali ini tampaknya masih relevan untuk diaplikasikan dalam kegiatan
proses belajar mengajar di masa sekarang tentunya dengan berbagai pengolahan,
karena konsep tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas pendidik dan
peserta didik, juga akan mendorong terciptanya akhlak yang mulia di kalangan
peserta didik, sebagaimana hal yang demikian itu menjadi cita-cita pendidikan
Islam khususnya, dan pendidikan nasional bahkan dunia umumnya.
Berdasarkan beberapa pengertian
diatas, terdapat perbedaan antara pengertian pendidikan secara umum dengan
pendidikan Islam. Pendidikan secara umum merupakan proses pemindahan
nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perbedaan
tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan (diajarkan). Dalam pendidikan
Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari sumber-sumber nilai Islam
yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan Islam merupakan proses
bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai dengan ukuran-ukuran Islam.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian sebagaimana
telah bahas pada bagian pembahasan makalah ini, maka dapat dibuat kesimpulan
bahwa yang disebut dengan etika menurut konsep Islam adalah sebagai perangkat
nilai yang berisikan sikap, prilaku secara normative, yaitu dalam bentuk
hubungan manusia dengan Allah (iman), manusia dan alam semesta. Etika sebagai
fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman keberagamaan
seseorang. Islam menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian,
kejujuran, dan keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu
cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk
mengabdi pada Allah SWT. Dan membawa kedamaian untuk semesta (rahmatan lilalamain).
Profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, diartikan bahwa
seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan
kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak
semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut
dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan
akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
إِذَا وُسِدًا ْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرُ السَّاعَةُ
”Apabila suatu perkara diserahkan
kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (HR. Bukhori).
Tentang pendidikan secara umum
diartikan sebagai proses pemindahan nilai-nilai budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Perbedaan tersebut dalam hal nilai-nilai yang dipindahkan
(diajarkan). Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang dipindahkan berasal dari
sumber-sumber nilai Islam yakni Al-Qur’an, Sunah dan Ijtihad. Jadi, pendidikan
Islam merupakan proses bimbingan baik jasmani dan rohani berdasarkan
ajaran-ajaran agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian muslim sesuai
dengan ukuran-ukuran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2003).
Azra, Azyumardi, Pendidikan
Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, Wacana
Ilmu 1998).
Eddy Wibowo, Mungin, Paradigma
Bimbingan dan Konseling, (Semarang; DEPDIKNAS, 2001).
Hidayat,Qomarudin, Etika Dalam
Kitab Suci Dan Relevansinya Dalam Kehidupan Jurnal Manajemen dan Sistem
Informasi, (Semarang : Undip, Vol. 1- 08 - 2002).
Nata, Abuddin, Metode Studi
Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2010).
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), Edisi III.
Saefuddin Anshari, Endang,
Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam, Usaha Enterprise, Jakarta: 1976.
Supriadi, Dedi, Mengangkat
Citra dan Martabat Guru, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998).
Sri Guntur,Yohanes, et al.,
Analisis Pengalaman Terhadap Profesionalisme dan Analisis Pengaruh
Profesionalisme Terhadap Hasil Kerja, Jurnal Manajemen dan Sistem Informasi
Undip, Semarang, Vol. 1 Agustus 2002.
Sadulloh,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. (Bandung : Penerbit Alfabeta).
Sadulloh,Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. (Bandung : Penerbit Alfabeta).
Sairin, Sjafri, Membangun
Profesionalisme Muhammadiyah, (Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Tenaga Profesi
[LPTP], 2003).
Sumardi, Sumardi, Pengaruh
Pengalaman Terhadap Profesionalisme Serta Pengaruh Profesionalisme Terhadap
Kinerja dan Kepuasan Kerja, Tesis, Undip, 2001.
Tobroni dan Syamsul Arifin,
Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta : Sipress 1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AMPUN KESUPEN KRITIK DAN SARANNYA...