MAKALAH
“DINAMIKA LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA”
Oleh:
Nama/NPM :
1. Riduan Sururi / 1222010030
2. Rahmat Efendi / 1222010029
3. Irawati Sa’diyyah / 1222010025
Semester : 3 (tiga)
Program : Ilmu Tarbiah
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Analisis Kebijakan PAI di Indonesia
Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Analisis Kebijakan PAI di Indonesia
DOSEN PENGAMPU
1. Dr. H. JAMAL FAKHRI, M.Ag
2. Dr. DEDEN MAKBULLAH, M.Ag
IAIN RADEN INTAN BANDAR LAMPUNG
PROGRAM PASCA SARJANA (PPs)
KELOMPOK YASRI BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’ alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dengan rasa syukur ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmat dan inayah Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Analisis Kebijakan PAI di Indonesia. Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Allah, Rasulullah, Muhammad SAW dan keluarganya serta para pengikutnya yang selalu berjuang untuk menebar cahaya Islam sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian makalah ini, terdapat kendala yang dihadapi penulis. Mulai dari pencarian sumber bacaan dan keterbatasan waktu yang dimiliki. Alhamdulillah, meskipun demikian, kendala ini dapat diatasi sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi atas penyelesaian makalah ini. Semoga Allah SWT memberi berkah atas amal usaha kita.
Kendati demikian kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itulah, penulis mohon maaf jika di dalam makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan.
Akhirnya, semoga makalah Analisis Kebijakan PAI di Indonesia ini dapat bermanfaat umumnya bagi para pembaca dan khususnya bagi para mahasiswa PPS IAIN Raden Intan Bandar Lampung dan pembaca umumnya. Kami pun terbuka menerima kritik dan saran dari para pembaca semua, guna perbaikan di masa yang akan datang.
Wassalamua’laikum Wr. Wb
Bandar Lampung, September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan dinamika lembaga pendidikan Islam di Indonesia 2
B. Persoalan dan Hambatan 8
1. Hambatan Politis: Internal dan Eksternal 11
2. Hambatan Kultural: Internal dan Eksternal 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 16
B. Saran 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai agama wahyu yang terakhir, Islam telah meniti jalan sejarah yang panjang. Setiap babak peristiwa historis dapat menjadi kaca perbandingan bagi kehidupan umat Islam pada masa sekarang. Pada zaman Nabi Muhammad Saw. Isalam dan umatnya berada pada posisi yang paling ideal, karena setiap permasalahan yang muncul pada masa itu dapat diselesaikan langsung oleh Nabi Saw. melalui tuntunan wahyu. Dalam pelaksanaan pendidikan pada zaman Nabi Saw tujuan pendidikan diarahkan kepada tujuan sentral, yaitu membentuk manusia muslim yang paripurna, yang memiliki keseimbangan antara jasmani dan rohani serta keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Dalam waktu yang relatif singkat, Nabi Saw. berhasil mendidik para sahabat yang dimulai secara rahasia dari rumah ke rumah, kemudian mengambil tempat di masjid setelah hijrah ke Madinah. Di Indonesia, menurut para ahli sejarah pendidikan Islam telah dimulai sejak masuknya Islam melalui Sumatera bagian Utara pada abad ke-12 M. “Pada tahap awal pendidikan Islam dilaksanakan oleh para ulama yang berasal dari Timur Tengah menyiarkan agama Islam, sehingga agama Islam mulai berkembang di kalangan masyarakat Indonesia”. Bagaimana sejarah dan dinamika lembaga-lembaga pendidikan Islam di Nusantara pada masa awal Islam masuk sampai sekarang, selanjutnya akan dibahas tulisan ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dinamika lembaga pendidikan Islam di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Dinamika lembaga pendidikan Islam di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Dinamika Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
“Kehadiran lembaga pendidikan Islam, telah memberikan spektrum tersendiri dalam membuka wawasan dan dinamika intelektual umat Islam”. Lahirnya pendidikan Islam ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ketika wahyu diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. maka untuk menjelaskan dan mengajarkannya kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah Arqam bin Abi Arqam sebagai tempatnya, di samping menyampaikan ceramah pada berbagai tempat. Atas dasar inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan pertama dalam Islam (Hasan,l988:111). Hal ini berlangsung lebih kurang 13 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti yang dikenal sekarang. Sedangkan sistem dan materi-materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Saw.
Ketika Nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah, institusi pendidikan pertama yang ia bangun adalah mesjid. Melalui mesjid inilah Nabi Saw. menjelaskan dan mengajarkan agama kepada para sahabat Sehubungan dengan semakin banyaknya umat Islam belajar agama, termasuk anak-anak, karena itu dikhawatirkan akan mengotori mesjid, maka muncullah lembaga pendidikan Islam di samping mesjid dengan sebutan al-Kuttâb.
Menurut Asma Hasan Fahmi (1979:30), al-Kuttâb didirikan oleh orang Arab untuk mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak. Lembaga ini dipandang sebagai media utama untuk mengajarkan membaca dan menulis al-Qur’an kepada anak-anak sampai pada era pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sedangkan materi-materi dan metode pendidikannya diserahkan sepenuhnya kepada guru-guru. Sebenarnya lembaga ini sudah ada sebelum Islam, namun tidak begitu populer. Karenanya pendapat Asma Hasan Fahmi di atas dapat diterima bahwa al-kuttâb dalam arti sesungguhnya ada sejak Islam. Kemudian pada masa pemerintahan Khalifah al-Makmun (813-833) lahir lembaga pendidikan Islam Bait al-Hikmah, yang dipimpin oleh Hunain bin Ishak (Sirajuddin Zar,2004:33).
Lembaga ini pada mulanya bergerak di bidang penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab. Dalam perkembangan selanjutnya tugas lembaga ini semakin luas, tidak hanya sebagai lembaga penerjemahan tetapi ia juga menjadi pusat pendidikan Islam dalam pengembangan filsafat, sains dan agama, sehingga orang yang mengatakan bahwa ia sebagai akademi dan universitas pertama dalam Islam dapat dibenarkan. Namun tentu saja belum dapat disamakan dengan akademi atau universitas yang kita kenal sekarang ini.
Prinsip pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang dirancang, diatur, dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha untuk menjawab tantangan dan peluang yang ada dengan berorientasi pada masa depan serta memanfaatkan kemajuan teknologi.
Adapun lembaga pendidikan Islam dalam bentuk klasikal pertama kali dalam Islam, ialah Madrasah Nizhamiyah yang didirikan oleh Perdana Menteri Nizham al-Mulk dari Dinasti Bani Saljuk. Pada lembaga ini diajarkan tidak hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, seperti ilmu kalam, logika, filsafat dan lainnya. Kemudian lembaga-lembaga yang sejenis didirikan pula pada daerah-daerah lain.
Perkembangan berikutnya muncullah lembaga pendidikan yang lebih maju di Spanyol dengan universitas-universitasnya. Pada lembaga ini dapat dikatakan sistem pendidikan dan pengajarannya sudah tersusun secara baik. Metode pendidikan Islam inilah membawa pengaruh besar ke dunia Barat.
Dinamika lembaga pendidikan Islam yang relatif tua di Indonesia ini tampak dalam beberapa hal, seperti: pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Kedua, kemampuan pesantren untuk selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Secara sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
Perlu dikemukakan, di dunia Islam ada tiga daerah yang melaksanakan pendidikan membawa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Daerah yang pertama adalah Baghdad yang terkenal dengan Bait al Hikmah-nya, sedangkan daerah yang kedua yang dipelopori oleh Dinasti Fatimiyah yang terkenal dengan Dâr al-Hikmah dan al-Azhar University di Kairo. Sementara daerah yang ketiga adalah Spanyol dengan universitas-universitasnya.
Sistem klasikal atau madrasah menunjukkan babak baru dalam pendidikan Islam. Berbeda dengan sebelumnya sistem klasikal tetap berbentuk semacam organisasi pendidikan yang memiliki pegawai, pustaka, kurikulum dan lain-lainnya. “Sebelum kedatangan Islam masyarakat Indonesia sudah lebih dulu mengenal dan terbentuk oleh budaya non Islam, yakni Hindu dan Budha, animisme, dan dinamisme”. Di Indonesia pendidikan Islam merupakan pendidikan yang tertua. Sebab ketika Islam masuk ke Indonesia belum ditemukan lembaga pendidikan umum. Pendidikan Islam di Indonesia dikembangkan melalui pesantren di Jawa, surau di Sumatera Barat, muasah dan rangking di Aceh. Sedangkan pendidikan umum dikembangkan oleh penjajah-penjajah yang datang ke Indonesia. Akibat desakan dan tekanan penjajah, lembaga Islam pesantren dan surau lebih banyak berada di pedesaan. Sesuai dengan alam pedesaan, pendidikan Islam ini sulit menerima perubahan atau sulit menerima Islam rasional. Karena itu, materi pendidikan yang diajarkan lebih banyak orientasi keakhiratan dan di bidang fikih berpaham Syafi’i dan di bidang akidah berpaham al-Asy’ari. Pada pihak lain, dunia surau dan pesantren belum begitu memberikan perhatian pada kurikulum. Sementara pendidikan umum yang dikembangkan penjajah umumnya berada di kota-kota, yang dinilai telah memiliki sistem dan kurikulum pendidikan yang teratur. Karena oleh dunia pendidikan umum kurikulum sebagai suatu keniscayaan dan agak aneh baginya jika tidak mempunyai kurikulum.
Perlu ditegaskan bahwa terdapat perbedaan antara pendidikan Islam klasik dengan pendidikan umum di Indonesia. Pendidikan Islam klasik belum terjadi pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Sedangkan di Indonesia terjadi pemilahan antara pendidikan umum dan agama.
Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari ilmu pendidikan yang lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan dikatakan dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan.
Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memerhatikan Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan.
Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren.
Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini.
Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala mengembangkan suatu ilmu.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari prakarsa dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan 30% agama.
B. Persoalan dan Hambatan
Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA).
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu ilmu umum.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau lâ yamûtu walâ yahya diplesetakan menjadi kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia.
Bagi umat Islam, madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang berakar dari tradisi Islam sendiri sehingga tidak mungkin ditangani secara sekuler. Tetapi pemerintah juga memahami bahwa umat Islam menuntut hak dan status yang lebih baik bagi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional sehingga kedudukan dan orientasinya sama dengan sekolah.
“Dengan adanya undang undang tentang sistem pendidikan nasional adalah merupakan seperangkat aturan atau ketentuan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional”. Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).
1. Hambatan Politis: Internal dan Eksternal
Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar" dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan ‘over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut.
Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah internasional.
Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam.
Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected community".
Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem .
Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya.
2. Hambatan Kultural: Internal dan Eksternal
Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam ini sebagai "kawah candradimuka" para intelektual yang agamis dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah. Gejala rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi. Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi "agent of change", para pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman lainnya.
Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut. Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek lainnya seperti kecerdasan intelektual dan sosial.
Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan, bahkan cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya. “Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian berlalu telah dipaparkan betapa pentingnya pendidikan dalam Islam. Ia juga sangat mengutamakan dimensi akhlak. Ilmu dalam Islam bukan ilmu untuk ilmu, tetapi dalam rangka tugas kekhalifahan sebagai ibadah kepada Allah. Dalam pendidikan Islam sangat dibutuhkan pemikiran filosofis sebagai akar atau dasar bangunan keilmuan pendidikan dan sekali gus pemberi arah dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan Islam. Sedangkan kurikulum sebagai sarana untuk mencapai tujuan merupakan suatu keniscayaan.
Akhir-akhir ini dunia pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan yang sangat berat, karena itu diharapkan kepada pakar pendidikan Islam untuk melakukan kajian-kajian yang serius, agar ilmu pendidikan Islam mampu mengantisipasi segala perubahan dan mampu pula bersaing secara kualitatif dengan pendidikan umum.
Akhir dari makalah ini ditutup dengan ungkapan yang dikemukakan oleh A.Syafi’i Ma’arif (l994:154): Pendidikan Islam yang hendak kita kembangkan haruslah dibangun di atas sebuah paradigma yang kokoh secara spiritual, unggul secara intelektual dan anggun secara moral dengan al-Qur’an sebagai acuan yang pertama dan utama.
B. Saran
Seorang guru harus mengetahui dinamika pendidikan Isam di Indonesia, dan memperdalam pengetahuan demi mendukung tercapainya tujuan yang diinginkan, dan mendapatkan siswa dan siswi yang berprestasi.
DAFTAR PUSTAKA
http://asno-dharmasraya.blogspot.com/2011/11/sejarah-dan-dinamika-lembaga-pendidikan.html. diunduh 20 September 2013. Pukul 12.30 WIB.
http://khusnulblogspot.blogspot.com/2012/02/sejarah-dan-dinamika-lembaga-pendidikan.html. diunduh tanggal 20 September 2013. Pukul 13.30 WIB.
http://www.uin malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 2656: problematika-pendidikan-islam - di-indonesia&catid=35: artikel&Itemid=210. Diunduh tanggal 20 September 2013 Pukul 12.35 WIB.
Khozin, Jejak-JejakPendidikan Islam di Indonesia, (Malang: Universitas Muhamadiyah Malang, 2006)
Maksud, Madrasah, Sejarah dan perkembangannya (Jakarta:Logos Wacana Ilmu,1999)
Marwati Djoned Pusponegoro, et al, Sejarah Nasional Indonesia Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1984)
Muhammad daud, Lembaga lembaga Islam di Indonesia (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1995)
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam Potret Timur Tengah Era Awal dan Di Indonesia, (Ciputat : Quantum Teaching, 2005)
Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AMPUN KESUPEN KRITIK DAN SARANNYA...