Makalah
Di Ajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah
Perkembangan Modern Dalam Islam
Judul
Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam di Mesir
Dosen :
Dr. Hasan Mukmin, M.Ag
Dr. Abdul Syukur, M.Ag
Oleh :
RIDWAN SURURI
NPM: 1222010030
PROGRAM ILMU TARBIYAH
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI ILMU TARBIYAH
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
1434 H/2013 M
KATA PENGANTAR
Alhamduliilahirobbil’alamin, penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena sampai detik ini Allah SWT masih bermurah hati memberikan segala karunia-Nya sehangga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Salam sejahtera semoga tetap tercurahkan kedapa Nabi Muhammad SAW sebagai Rahmatan Lil’alamin. Semoga kelak kita menjadi salah satu umatnya yang mendapatkan syafa’at dari beliau. Amin, Ya Robbal’alamin.
Pada kesempatan kali ini panulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan baik dari segi moril maupun materil dan yang secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai hamba Allah Swt, penulis yakin bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi memperoleh hasil yang lebih baik dikesempatan mendatang.
Lampung, 6 April 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….. 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………… 2
A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam…………………………………. 2
B. Pembaharuan Islam di Mesir……………………………………………. 3
1. Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir…………………… 3
2. Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir dan pemikirannya…………. 4
a. Muhammad Ali Pasya……………………………………………. 4
b. Al-Tahtawi………………………………………………………… 6
c. Jamaluddin al-Afgani…………………………………………….. 8
d. Muhammad Abduh……………………………………………….. 9
e. Murid dan Pengikut Muhammad Abduh..................................... 13
1. Rasyid Ridha…………………………………………………... 13
2. Qasyim Amin………………………………………………….. 15
3. Ali Mubarak…………………………………………………... 16
4. Thaha Husain…………………………………………………. 17
5. Sa’ad Zaglul…………………………………………………… 18
BAB III PENUTUP………………………………………………………………. 20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 21
BAB I
PENDAHULUAN
Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi, tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharu.
Meskipun kehadiran Barat telah memicu timbulnya respon dikalangan terpelajar muslim, kontak dengan Barat bukanlah satu-satunya aktor yang menyebabkan munculnya gerakan pembaruan dalam Islam. Di samping dalam batang tubuh doktrin doktrin Islam pembaharuan (tajdîd) merupakan sesuatu yang intern, kondisi objektif umat Islam sendiri yang secara umum ditandai oleh semakin memudarnya semangat keilmuan, kebekuan (jumûd) dibidang intelektual, dan berkembang pesatnya tradisi yang mendekati syirik, merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktor-faktor itu sekaligus juga merupakan tantangan kaum muslim, tidak hanya dalam tataran intelektual tetapi juga pada tataran empiris, seperti kekhalifahan yang berabad-abad bertahan dalam Islam mulai digugat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Secara etimologi, kata ‘pembaruan’ dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah tajdîd, memiliki makna antara lain; proses, cara, perbuatan membarui. Sedangkan menurut Harun Nasution pembaharuan merupakan arti dari at-Tajdid dalam bahasa Arab sebagai perkembangan modernisme yang terjadi di dunia Barat akibat perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga pembaharuan dapat dilihat dari kata modernism. Modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama. Tetapi, perlu diingat bahwa dalam Islam ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak yang tak dapat dirubah-rubah, yang dapat dirubah hanyalah ajaran-ajaran yang tidak bersifat mutlak yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajaran yang bersifat mutlak itu. Dengan kata lain pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran dalam aspek-aspek teologi, hukum, politik dan mengenai lembaga-lembaga yang ada.
Pembaharuan dalam Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan aslinya. Disini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan penafsiran. Disamping itu, tajdid ini bisa berarti memperbaharui ingatan orang yang telah melupakan ajaran agama Islam yang benar, dengan memberi penjelasan dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya ragu dan meluruskan kekeliruan atau kesalahpahaman mereka yang keliru dan salah paham.
B. Pembaharuan Islam di Mesir
1. Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir
Ketika melacak sejarah Mesir, akan lebih menarik dari munculnya (kekhalifahan) dinasti Fatimiyah yang membangun Universitas Al-Azhar sebagai Perguruan Tinggi Islam besar tertua yang dianggap mewakili peradaban dan basis ilmiah-intelektual pasca-klasik sampai modern, yang kini dianggap masih ada dan tidak terhapus oleh keganasan perang, berbeda dengan Universitas Nizamiyah di Bagdad yang hanya tinggal kenangan. Setelah keruntuhan Bagdad, Al-Azhar dapat disimbolkan sebagai khasanah pewarisan bobot citra keagamaan yang cukup berakar di dunia Islam. Tonggak inilah yang membawa Mesir memiliki aset potensial dikemudian hari dalam gagasan-gagasan modernisme.
Setelah Dinasti Fatimiyah dan penerus-penerusnya dilanjutkan lagi oleh Sultan Mamluk sampai tahun 1517 M, mereka inilah yang sanggup membebaskan Mesir dan Suriah dari peperangan Salib serta yang membendung kedahsyatan tentara Mogol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk. Dengan demikian Mesir terbebaskan dari penghancuran dari pasukan Mogol sebagaimana yang terjadi di dunia Islam yang lain.
Ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Mesir pada tahun 1798, Mesir berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Secara politik, negeri ini terbelah oleh dua kekuatan yang saling menghancurkan. Yakni, kekuatan Mamluk yang berkuasa secara turun-temurun sejak abad ke-13 dan kekuatan yang didukung oleh pemerintahan Utsmani di Istanbul.
Situasi kekuasaan dan pemerintahan di Mesir pada waktu itu sudah tidak dapat lagi dikatakan stabil. Kekacauan, kemerosotan sosial kemasyarakatan sebagai wilayah yang selalu diperebutkan dan diincar oleh negara-negara Islam kuat sungguh-sungguh membuat rakyat Mesir diliputi rasa ketakutan. Perhatian untuk membangun pun sangat lemah, sebab setiap saat selalu dihantui oleh perang. Dengan keadaan sedemikian lemah posisi Mesir, datanglah tentara Napoleon yang melebarkan sayap imperialnya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi kekayaan alam, peradaban dan warisan-warisan historis yang memungkinkan untuk dijadikan batu pijakan bagi kejayaan mereka dalam membangun impian menguasai dunia.
Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan pengajaran Barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan pembaharuan dalam Islam.
Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan partisipasinya dalam percaturan dunia.
2. Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir dan pemikirannya
Tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam di Mesir antara lain: Muhammad Ali Pasya, Al-Tahtawi, Jamaludin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Rida dan murid serta pengikut Muhammad Abduh seperti Muhammad Farid Wajdi, Tantawi Jauhari, Qasim Amin, Sa’ad Zaghlul, Ahmad Lutfi al-Sayid, Ali Abdul Raziq dan Taha Husain.
f. Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Orang tuanya bekerja sebagai seorang penjual rokok, dari kecil Muhammad Ali telah harus bekerja. Ia tidak memperoleh kesempatan untuk masuk sekolah dengan demikian dia tidak pandai membaca maupun menulis. Meskipun ia tak pandai membaca atau menulis, namun ia adalah seorang anak yang cerdas dan pemberani, hal itu terlihat dalam karirnya baik dalam bidang militer ataupun sipil yang selalu sukses.
Sungguhpun Muhammad Ali Pasya tidak pandai baca tulis, tetapi ia memahami betapa pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan suatu negara. Ini terbukti dengan dibentuknya Kementerian Pendidikan untuk pertama kalinya di Mesir, dibuka sekolah militer (1815), sekolah teknik (1816), sekolah ketabibaban (1836), dan sekolah penerjemahan (1836).
Muhammad Ali Pasya berpendapat bahwa kekuasaan dapat dipertahankan hanya dengan dukungan militer yang kuat yang dibentuk melalui ekonomi dan pendidikan. Maka pembangunan pendidikan, ekonomi dan militer segera dilakukan demi kelanggengan kekuasaannya di Mesir. Modernisasi yang dilakukannya antara lain: mengirim mahasiswa ke Prancis, mendatangkan dosen dari Prancis, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu militer, kesehatan, ekonomi dan penerjemahan.
Selain mendirikan sekolah beliau juga mengirim pelajar-pelajar ke Eropa terutama ke Paris + 300 orang. Setelah itu mereka kembali ke Mesir diberi tugas menerjemahkan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Arab, dan mengajar di sekolah-sekolah yang ada di Mesir.
Keberhasilan di bidang militer telah merubah Mesir menjadi negara modern yang kekuatannya mampu menandingi kekuatan militer Kerajaan Usmani, serta bermunculanlah para tokoh intelektual di Mesir yang kelak melanjutkan gagasan-gagasan beliau khususnya dalam bidang pendidikan.
Sepintas pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali hanya bersifat keduniaan saja, namun dengan terangkatnya kehidupan dunia umat Islam sekaligus terangkat pula derajat keagamaannya. Pembaharuan yang dilaksanakan oleh Muhammad Ali merupakan landasan pemikiran dan pembaharuan selanjutnya. Pembaharuan Muhammad Ali dilanjutkan oleh Tahtawi, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan murid-murid Muhammad Abduh lainnya.
g. Al-Tahtawi
Thahthawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Thahthawi tinggal di Prancis selama lima tahun. Sekembalinya ke Mesir, ia menuliskan pengalaman hidupnya selama berada di Paris dalam sebuah buku yang kemudian menjadi salah satu sumber penting sejarah pemikiran modern dalam Islam. Yakni, Takhlis al-Ibriz ila Talkhis Bariz. Dalam buku ini, Thahthawi memuji pencapaian yang dilakukan negara-negara Eropa, khususnya Prancis. Ia menggambarkan kondisi Prancis yang bersih, anak-anak yang sehat, orang-orang yang sibuk bekerja, semangat belajar yang terpancar dari wajah kaum mudanya, dan kelebihan-kelebihan lainnya yang ia saksikan selama berada di Prancis. Selain memberikan pujian, Thahthawi juga memberikan beberapa kritikan terhadap masyarakat Prancis. Ia mengatakan bahwa kaum pria di negeri itu telah menjadi budak para wanitanya dan orang-orang Prancis pada umumnya sangat materialistis.
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu sebaiknya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I adalah pendidikan dasar, diberikan secara umum kepada anak-anak dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa asing, dan ilmu-ilmu keterampilan. Tahap III, adalah pendidikan tinggi yang tugas utamanya adalah menyiapkan tenaga ahli dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki kesabaran dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyetujui penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab merusak perkembangan anak didik.
Dari buku-buku yang diterjemahkannya, terlihat kecenderungan Thahthawi terhadap filsafat politik. Satu tema yang kemudian menjadi isu sentral dari pemikiran-pemikirannya, khususnya ketika ia berbicara tentang kondisi Mesir dan bangsa Arab modern. Sayangnya, lembaga penerjemahan yang sangat berjasa itu harus ditutup ketika penguasa Mesir yang juga cucu Muhammad Ali, Abbas Hilmi I, mulai tidak menyukainya dan “membuang”-nya ke Khortoum, Sudan. Baru pada pemerintahan Sa’id, anak keempat Muhammad Ali menggantikan kemenakannya, ia diperbolehkan pulang ke Kairo, dan kembali memegang peranan dalam gerakan penerjemahan buku-buku asing.
Pada pemerintahan Ismail, cucu Muhammad Ali yang lain, Thahthawi dilibatkan berbagai kegiatan ilmiah, termasuk menjadi anggota komisi penerbitan pemerintah di Boulaq yang kemudian populer dengan sebutan “mathba’ah boulaq.” Di Boulaq, Thahthawi memberi banyak masukan buku-buku berbahasa Arab klasik yang perlu diterbitkan. Di antaranya al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun yang populer itu. Di samping kesibukannya sebagai penerjemah dan mengawasi proyek penerjemahan, Thahthawi masih menyempatkan menulis beberapa buku penting. Di antaranya al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin yang ditulis untuk generasi muda dan Manahij al-Albab al-Mishriyya fi Mabahij al-Adab al-‘Ashriyya tentang sosiologi Mesir.
Dalam hal agama dan peranan ulama, al-Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan modern. Diantara hasil-hasil karyanya yang terpenting adalah:
a) Takhlisul Abriiz Ila Takhrisu Bariiz.
b) Manahijul Bab Al-Mishriyah fi Manahijil Adab al-Ashriyah.
c) Al-Mursyid al-amin lil banaat wal banien.
d) Al-Qaulus sadid fi ijtihad wat taliid.
e) Anwar taufiq al-jalil fi akhbari mishra wa tautsiq bani Isra’il.
h. Jamaluddin al-Afgani
Jamaluddin Al Afghani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang anak dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Ia meninggal dunia pada tahun 1897 M. Dalam silsilah keturunannya al-Afghani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali ra. Pada umur 18 tahun ia telah menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama. Karena keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut ia telah mempesona dunia intelektual dan politik dengan gaya agitasinya yang sungguh menakjubkan. Ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Pengaruh agitasinya telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul) yang memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada 1867, sebagai awal dari petualangan keilmuan dan politiknya.
Jamaludin Al-Afgani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara Islam lainnya. Pengaruh terbesar ditinggalkan di Mesir. Ketika zaman Al Tahtawi buku-buku diterjemahkan sudah menyebar dan di dalamnya terdapat salah satunya ide trias politika dan patriotisme, maka pada tahun 1879 Al-Afgani membentuk partai al-Hizb al-Wathan ( Partai Nasionalis) dengan slogan Mesir untuki orang Mesir mulai kedengaran dengan memperjuangkan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam bidang militer.
Pembaharuan Pendidikan yang dilakukan Al-Afghani adalah didasari pada pendapatnya bahwa Islam adalah relevan pada setiap zaman, kondisi, dan bangsa. Untuk itu kemunduran umat Islam adalah karena tidak diterapkannya Islam dalam segala segi kehidupan dan meninggalkan ajaran Islam murni. Jalan untuk memperbaiki kemunduran Islam hanyalah dengan membuang segala bentuk pengertian yang bukan berasal dari Islam, dan kembali pada jaran Islam murni. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya adalah persamaan manusia antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai akal untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar jika situasi menginginkan.
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau mendapat prioritas utama agar umat Islam bisa bangkit dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi kepada laki-laki saja melainkan perempuan pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.
Kemudian, pada tahun 1892 ia pergi ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid, namun kemudian ia terjebak dan tidak bisa keluar dari Istanbul karena dijadikan tahanan hingga ia wafat pada 9 Maret tahun 1897 terkena serangan kangker rahang.
d. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki, dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).
Orang tuanya sangat memperhatikan pendidikannya. Pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta . Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Pada umur 10 tahun (th. 1859) ia telah mampu menghafal Al Qur’an.
Muhammad Abduh terlahir di desa dan keluarga kelas bawah dan mengenyam pendidikan yang menggunakan metode menghafal di luar kepala, seperti yang ditulisnya dalam pengalaman hidupnya sebagai berikut:
“ Satu setengah tahun saya belajar di masjid Syekh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah nahwu atau fiqh yang tak kita ketahui artinya. Guru-guru tak merasa penting apa kita mengerti atau tidak mengerti arti-arti istilah itu”.
Muhammad Abduh bergabung dengan Jamaludin Al Afgani, ia mendirikan geraka politik dan keagamaan yang disebut Urwa al-Wusqa dan menerbitkan majalah Al Manar. Pada Tahun 1988 ia kembali ke Mesir dan menjabat sebagai mufti besar pada tahun 1889. Pada tahun 1894 menjadi dewan Majlis Agung Universitas Al-Azhar dan pada tahun 1897 menerbitkan karya teologi dan hukum dengan judul Risalat al-Tauhid.
Muhammad Abduh ketika terjadi kemerosotan kondisi Islam pada saat itu sangat mengganggu hati dan pikirannya, dia mengikuti pemikiran Ibnu Taimiyah yang mencela tahayul dan bid’ah yang telah mencemari keimanan. Maka timbul gagasan pembaharuan intelektual dan politik, agama serta unifikasi politik di bawah satu pemimpin utama. Ia menebarkan pemikiran bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara Islam dengan ilmu pengetahuan. Dia menafsirkan beberapa ayat al-Qur`an secara rasional dan mengakui kekurangan skolatisisme Islam.
Muhammad Abduh adalah tokoh pembaharuan yang banyak perhatiannya dalam bidang pendidikan dengan cara berusaha keras melakukan penyadaran intelektual karena menurutnya pendidikan merupakan lembaga strategis untuk mengadakan perubaha-perubahan sosial secara sistematik. Politik hanyalah jalan untuk mendayagunakan ide-ide pembaharuannya yang pada saat itu masih bersifat otokratis dan harus berhadapan dengan kekuatan kolonialisme asing.
Diantara gagasan dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh sangat menentang sistem pendidikan dualisme, sekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, dan sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Muhammad Abduh dalam bidang politik tentang bentuk pemerintahan tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan yang terpenting mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berfikir. Hal ini nampaknya memiliki kesamaan pendapat dengan tokoh Islam sebelumnya Ibnu Taimiyah yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihad. Kekuasaan negara harus harus dibatasi oleh konstitusi, pemerintah wajib berlaku adil terhadap rakyat. Pemerintah yang adil wajib rakyat mematuhi dan setia kepadanya.
Lebih jauh Muhammad Abduh menyalahkan para faqih dan penguasa pada saat itu yang menyebabkan kebodohan, faqih tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sedangkan penguasa tidak mempertanggung jawabkan kebijaksanaan dan tidak tahu cara memerintah dan berlaku adil bahkan memanfaatkan fiqih untuk kepentingan penguasa. Sedangkan dalam hal gender, menurut Abduh pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama, memiliki nalar dan perasaan yang sama dan jika wanita memiliki kualitas menjadi dan kualitas membuat keputusan, maka keunggulan pria tak berlaku lagi.
Jamaludin al-Afgani dan Muhammad Abduh tidak menamakan dirinya sebagai mujadid, begitu juga murid-muridnya lebih banyak menggunakan islah atau perbaiakan, karena memang keduanya membawa perbaikan, pembaharuan dalam Islam dan membersihkan bid’ah-bid’ah penyelewengan dalam Islam agar agama Islam kembali kepada keaslian dan kemurniannya. Jamaludin Al-Afgani bercita-cita hendak melaksanakan tauhid tertinggi dalam Islam dengan mempersatukan semua negara Timur dalam satu ikatan Islam dan membebaskan dirinya dari penjajahan Barat. Sedangkan Muhammad Abduh ingin melaksanakan ajaran dalam memperbaiki pendidikan Islam yang dimulai dengan memasukan pengetahuan umum ke dalam Al-Azhar dan meratakan ajaran salaf yang tidak mengenal perselisihan mazhab, tetapi hanya mengenal al-Qur`an dan sunnah sebagai sumber hukum Islam yang terpokok.
Diantara hasil karya Muhammad Abduh adalah :
1) Risâla at-Tauhid berisi tentang akidah, keagamaan dan isi pidato-pidato ketika di Beirut.
2) Syarah Kitab al- Bashâir an-Nashriyah
3) Tashnîf al-Qâdhi Zainudin ( tentang logika)
4) Al- Islâm wan Nashrâniyah ma’al ilmi wa al-madaniyah yang berisi tentang pembelaan terhadap Islam dari serangan agama Kristen.
5) Tafsir al-Qur`an al-Hakîm dengan memasukan kajian filsafat al-Qur`an.
6) Majalah al-Manar
Rencana pembaharuan Muhammad Abduh antara lain:
1) Menyusun agama Islam kembali kepada bentuk yang asli.
2) Memperbaharui bahasa Arab.
3) Menuntut pengakuan hak-hak rakyat terhadap pemerintah.
Menurut pendapat Abduh agama dan pengetahuan tidak bertentangan antara satu sama lainnya sehingga tidak mustahil akal dapat menerima kebenaran aturan agama, tanpa mengurangi penghargaan terhadap kesucian wahyu Tuhan.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah melalui Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul di zaman modern.
Muhammad Abduh dan kiprahnya dalam agenda pembaharuan islam kontemporer adalah sosok pembaharu yang sangat kita kenal dan tidak mungkin terlupakan oleh sejarah pembaharuan Islam di Mesir yaitu Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Kedua orang tersebut mempunyai hubungan yang sangat dekat dan erat karena kedua tokoh tersebut adalah Guru dan Murid. Namun demikian tidak berarti terdapat kesamaan visi dan pemberdayaan umat melalui program pembaharuan Islam. Pembaharuan Jamaluddin Al Afghani adalah pembaharuan (modernisasi) politik Islam yang menekankan adanya kebangkitan dan rasa solidaritas keIslaman (Pan Islamisme) yang diaplikasikan dengan pendekatan radikal dan revolusioner, karena keadaan pada saat itu menghendaki gerakan revolusioner untuk membangkitkan semangat keIslaman dan keagamaan. Sedangkan Muhammad Abduh melakukan program pembaharuan pada segala bidang dengan agenda aksi yang bersifat evolusi dan sentuhan kearah pergerakan pemikiran.
Pada saat menjadi rektor Universitas Al-Azhar tahun 1901, ia melakukan reformulasi system pendidikan di lembaga kajian kebanggaan Islam tersebut. Ia mengatakan bahwa pendidikan harus memperhatikan relevansi dan signifikansinya terhadap kehidupan manusia. Ada dua dasar pertimbangan diberlakukannya pokok kajian keilmuan, yaitu : relevensi ilmu dengan alokasi waktu yang dibutuhkan dan relevansi ilmu dengan kebutuhan hidup manusia (Human Needs).
e. Murid dan Pengikut Muhammad Abduh.
1. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli .
Setelah lulus di Madrasah al-Wathaniyah di Tripoli ia meneruskan pendidikan di sekolah milik Syaikh Husain al-Jisr, seorang yang telah dipengaruhi ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain bahasa arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis, dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli . Kemudian ia belajar ide-ide pembaharaun Jamaludin al-Aghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wusqa. Sewaktu Muhammad Abduh dibuang ke Beirut, ia mendapat kesempatan untuk berjumpa dan berdialog. Kemudian pada bulan Januari 1898 ia pindah ke Mesir untuk belajar dan berguru lebih dekat dengan Muhammad Abduh.
Ide-ide pembaharuan Rasyid Ridla beberapa diantaranya di bidang agama, pendidikan dan bidang politik. Dalam bidang agama umat Islam lemah karena tidak mengamalkan ajaran agama Islam yang murni melainkan ajaran yang sudah bercampur dengan kurafat dan bid’ah, sehingga ajaran Islam harus kembali kepada Al-Quran dan sunnah Rasululah Saw dan tidak terikat kepada ulama terdahulu yang tidak sesuai dengan tuntutan hidup modern. Lebih lanjut faham fanatisme mazhab yang menyebabkan perpecahan umat Islam harus diganti dengan toleransi bermazhab. Dalam bidang pendidikan ia sangat menaruh perhatian terhadap pendidikan dengan cara mendorong dan menghimbau untuk menggunakan kekayaan bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan Islam, membangun lembaga pendidikan lebih utama dari membangun masjid. Ia juga membangun Sekolah Missi Islam dengan nama Madrasah ad-Da’wah wa al-Irsyad dengan tujuan mencetak kader-kader mubaligh yang tangguh sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris kristen. Sedangkan di bidang politik ia pernah menjadi presiden kongres Suriah pada tahun 1920. Ide-ide di bidang politik adalah tentang Ukhuwah Islamiyah yang menyerukan umat Islam bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan dan tunduk kepada sistem hukum dalam satu kekuasaan negara yang berbentuk khilafah yang dibantu para ulama dan bertanggung jawab kepada ahlu al-hali wa-al’aqdi yang anggota terdiri dari ulama dan tokoh masyarakat.
Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Rasyid Ridha merasa perlu diadakan pembaharuan di bidang pendidikan, dan melihat perlu ditambahkannya kedalam kurikulum mata pelajaran berikut : teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, kesehatan, bahasa asing, disamping fiqih, tafsir, hadist dan lain-lain.
Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 jumadil ula 1354/ 22 agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.
2. Qasyim Amin
Qasyim Amin lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Prancis sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum, setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib wanita. Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir al-mar’ah (“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar seperdua dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan pembaharuan, karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam.
Qasim amin adalah seorang ahli hukum lulusan Prancis, menurut Muhammad Abduh sang guru wanita dalam Islam memiliki kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat dari luar Islam yang mengubah wanita memiliki kedudukan rendah di masyarakat. Dengan ide dari guru tersebut ia mengupas tentang emansipasi wanita ( Tahrir al-Mar`ah) dengan berpendapat bahwa kaum wanita harus memperoleh pendidikan. Wa nita harus diberikan hak yang sama dalam soal perkawinan, memilih jodoh dan hak menuntut cerai serta menganjurkan monogami. Begitu juga tentang penutupan wajah wanita bukan merupakan ajaran Islam. Penutupan wajah hanyalah kebiasaan yang kemudian dianggap merupakan ajaran Islam. Wanita harus bergaul dengan kaum pria, tidak ada pemisahan diantara keduanya.
Tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam. Dan karena kritik dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu memberi jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju, tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.
3. Ali Mubarak
Beliau dipandang sebagai pelopor pendidikan modern di Mesir, karena mampu memadukan antara pendidikan yang berazaskan Islam dengan pendidikan Barat yang diperolehnya ketika belajar di Prancis.
Ali Mubarak dipandang sebagai peletak dasar dari Laihah Rajab, semacam rencana pendidikan yang terpadu bagi bangsa Mesir yang berdasarkan kerakyatan dengan sasaran pengembangan lembaga pendidikan, penelitian lembaga pendidikan di daerah dan penerbitan administrasi pendidikan yang dipusatkan di kantor pemerintah daerah.
Sebagai hasil dari Laihah Rajab itu, lembaga-lembaga pendidikan berkembang dengan pesat, baik kualitas maupun kuantitas, tetapi keasliannya tetap terpelihara. Pada perkembangan selanjutnya mendapat pengakuan yang wajar dari pemerintah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
4. Thaha Husain
Beliau sangat berhasil dalam bidang pendidikan. Terbukti setelah selesai di al-Azhar, kemudian ke Prancis untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Dan sekembalinya di Mesir, beliau diangkat menjadi pejabat penting dalam pemerintahan khususnya dalam urusan kementerian pendidikan.
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, beliau melihat bahwa perguruan tinggi adalah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga ahli yang diharapkan melakukan perubahan-perubahan fundamental yang dapat memajukan Mesir yang saat itu masih berada pada kondisi yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam berbagai bidang khususnya pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.
Menurut beliau, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan memiliki metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya bisa diperoleh melalui kemerdekaan ilmu dan intelektual.
Untuk mendapatkan kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau menegaskan agar sistem pendidikan Mesir harus didasarkan pada sistem dan metode Barat sejak tingkat menengah sampai ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.
Ide-ide pembaharuannya berkisar di bidang pendidikan yang berorientasi kepada kebudayaan untuk memajukan Mesir. Dengan menggunakan metode kritis ilmiah menganalisa syair-syair kuno Arab yang berakhir pada satu kesimpulan sebagain besar syair jahili perlu diragukan keautentikan dan kebenarannya, hanya sebagian kecil saja syair itu ditulis pada masa pra Islam. Ide ini mendapat tantangan dari kaum ulama karena akan mengakibatkan keraguan terhadap pengajaran bahasa Arab yang digunakan sebagai pengantar agama Islam. Seperti meragukan kebenaran ada tidaknya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail karena tidak adanya bukti peninggalan sejarah, walaupun ada disebutkan dalam al-Qur`an.
Kitab yang menghebohkan pada saat itu adalah “ Fi al-Adab al-Jahily” salah satu diantaranya mengajak untuk tidak menerima kebenaran cerita fiksi yang ada dalam kitab-kitab seperti Taurat, Injil dan Al-Quran, akan tetapi biarkan sejarah yang membuktikannya. Begitu juga ia berpendapat bahwa Mesir merupakan bagian dari kebudayaan Barat dari segi kultural bukan dari segi geografi.
5. Sa’ad Zaglul
Pada tahun 1871 ia belajar di Al-Azhar menjadi muridnya Muhammad Abduh dan pernah menjadi pembantu dalam memimpin majalah Al-Waqa’i’ al-Mishriyah sang guru Muhammad Abduh. Dalam karirnya ia pernah menjadi Menteri Pendidikan, kemudian pindah ke Kementerian Kehakiman, dan tahun 1913 menjadi wakil ketua DPR. Ide-ide pembaharuannya di bidang politik berhasil mengadakan perlawanan politik terhadap kolonial Inggris yang pada akhirnya Inggris mengabulkan kemerdekaan kepada Mesir pada tahun 1922. Setelah medeka ia mendirikan partai Wafd dan ditunjuk menjadi perdana Menteri.
Ide pembaharuannya adalah merubah faham nasionalisme arab menjadi nasionalisme Mesir, dalam bidang pendidikan, pendidikan harus terbuka untuk semua orang termasuk fakir miskin, jumlah sekolah diperbanyak, bahasa inggris sebagai bahasa pengantar diganti dengan bahasa Arab dan mendirikan Perguruan Tinggi Hakim Agama.
Selain tokoh-tokoh pembaharuan di Mesir ini, masih banyak yang berjasa seperti yang dituliskan Harun Nasution, antara lain Syaikh Muhammad al-Bakhit, Syaikh Mustafa al-Maraghi, Syaikh Ali Surur al-Zankalun , Muhamma Farid Wajdi, Tantawi al-Jauhari,Ahmad Taimur, Sayyid Mustafa Luthfi al-Manfaluti dan Muhammd Hafiz Ibrahim.
BAB III
KESIMPULAN
Pembaharuan dalam Islam merupakan suatu keharusan yang terjadi dalam siklus kehidupan dengan tujuan memperbaiki segala persoalan sosial keagamaan yang sangat dibutuhkan masyarakat pada saat itu sebagai akumulasi dari sebab akibat yang terjadi di masyarakat, sehingga melahirkan tokoh-tokoh pembaharuan yang mengadakan perubahan terhadap keadaan yang sedang berlangsung walaupun harus berlawanan dengan faham dan pemikiran yang ada.
Karakteristik pembaharuan Islam yang terjadi di Mesir ada keragaman yang menjadi acuan serta latar belakang tokohnya. Pembaharuan di Mesir lebih banyak berangkat dan digerakan pembaharuan pemikiran akademis baik itu dari lulusan Al-Azhar sebagai tempat khazanah ilmu atau perguruan tinggi lainnya. Begitu pula latar belakang kehidupan dan pengalaman seorang tokoh pembaharu akan mewarnai gerakan pembaharuan yang dilakukannya, seperti adanya perbedaan gerakan pembaharuan Jamaludin al-Afghani dengan Muhammad Abduh. Di Mesir tokoh pembaharuan berhadapan dengan keadaan pola pendidikan, politik dan sosial keagamaan masyarakat yang sedang mengalami penjajahan dari bangsa Barat.
Tujuan akhir dari pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh pembaharuan bagaimana Islam dapat menjawab segala persoalan yang terjadi di masyarakat dan tetap sesuai di segala zaman, serta ajaran Islam memberikan kontribusi yang positif dalam setiap perkembangan zaman. Wallahu a’lam bi showab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid, Editor), Pemikiran Modern Dalam Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2010
Abidin Ahmad, H. Zainal, Sejarah Islam dan Ummatnya, Bulan Bintang, Jakarta , 1979,
Aboebakar Atjeh, Muhyi Atsaris Salaf, tanpa tahun
Amin Ahmad., Islam dari Masa Kemasa, Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 1993.
Amin, Qasim. Takhrir al-Mar’ah. Kairo: Sadar al-Ma’arif, 1970
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran Islam dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam. Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Barmawi, Ahmad., 118 Tokoh Muslim Genius Dunia, Jakarta, Restu Agung, 2006.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.
Harahap, Syahrin. Al-Qur’an dan Sekularisasi. Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
M. Riza Sihbudi dkk, Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah, Bandung, PT. Eresco,1993.
Mufradi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Cet. II; Jakarta: Logos, 1999
Munir, A. dan Sudarsono. Aliran Modern dalam Islam. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.
Muzani, Syaiful.1995, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution. Bandung : Mizan
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Ui-Press, 1985..
Supriyadi, Dedi., Perbandingan Fiqh Siyasah: Konsep Aliran dan tokoh-tokoh politik Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
AMPUN KESUPEN KRITIK DAN SARANNYA...